Berawal dari Mimpi al-Makmun: Model Bayani
Ibn an-Nadim dalam bukunya yang berjudul al-Fihrisat pada judul bab “Dzikr al-asbab al-ladzi min ajlihi katsurat kutub al-falsafah wa ghairuha min al-ulum al-qadimah fi hadzihi al-bilad”, mengatakan salah satu penyebab menjamurnya buku-buku filsafat dan ilmu kuno di Dinasti Abbasiyah adalah mimpi Khalifah al-Makmun yang melihat sosok lelaki putih kemerah-merahan, berkening lebar, alis yang saling bertemu, berkepala botak, bermata biru duduk di tempat tidurnya. Mimpi inilah yang kemudian menjadi tonggak sejarah pengukuhan akal dalam Islam.
Mimpi al-Makmun berjumpa dengan Aristoteles memiliki makna khusus dalam ranah pengetahuan Islam yang mendominasi saat itu. Pemikiran Islam sejak saat awal mengenal model pengetahuan ini dengan sebutan ru`yah shadiqah (mimpi sejati). Mimpi yang tidak sekedar mimpi, akan tetapi memiliki pesan khusus yang sangat penting dan akan menjadi isyarat atas peristiwa besar.
Tidak ada keraguan bahwa orang yang memformulasikan mimpi ini, dalam menggambarkan Aristoteles, secara sengaja menggunakan model bayani. Sebuah proses pelandasan sikap dan pemikiran melalui bayan (teks). Yakni dengan menyebut hadis bagaimana malaikat Jibril datang kepada nabi dengan menyampaikan berbagai pertanyaan-pertanyaan.
Tampak dalam mimpinya itu, al-Makmun ingin mencari landasan atas keputusannya untuk mengembangkan ilmu filsafat dan ilmu-ilmu kuno lainnya. Caranya adalah dengan berlandaskan kebenaran mimpi (ru`yah shadiqah). Kemudian kejadian yang dialami dalam mimpi itu dikaitkan dengan peristiwa bagaimana Nabi kedatangan tamu asing (Jibril). Dan inilah yang kita kenal dengan model Bayani sebagaimana yang sudah saya sampaikan di awal.
Mimpi sebagai Proyek Besar-besaran
Tujuan menggunakan model bayani dalam mimpi al-Makmun ini adalah jelas-jelas memproyeksikan kredibilitas mimpi ini. Sehingga mencapai mimpi yang benar. Di samping itu mimpi ini juga menjadi dasar untuk legitimasi tindakannya. Al-Makmun berusaha dengan menggunakan kekuatan negara menghimpun dan menerjemahkan buku-buku kuno pra Islam ini sebagai proyek religius.
Selanjutnya, dalam mimpi itu tergambar seorang murid bertanya pada gurunya, di mana al-Makmun sebagai murid dan Aristoteles sebagai guru. Namun mengapa Aristoteles? Pertanyaan dalam kerangka analisa mimpi ini, dengan sendirinya menunjukkan suatu realitas historis. Bahwa al-Makmun Tidak diragukan lagi mendatangkan buku-buku kuno pra Islam khususnya buku Aristoteles, khususnya dari Romawi dengan mengeluarkan banyak biaya. Apa yang mendorong semua ini?
Mimpi itu memberi jawaban kepada kita, yakni melalui dialog yang terjadi antara keduanya, di mana dialog itu terpusat pada satu hal, “Apa itu kebaikan?” Dan jawabannya menyingkapkan apa yang dicari, namun yang dicari bukan definisi kebaikan tetapi penetapan cara mengetahui kebaikan dan selanjutnya juga pembatasan sarana untuk sampai pada pengetahuan. Aristoteles dan pembuat mimpi yang bisa jadi adalah al-Makmun sendiri menetapkan tiga cara untuk mengetahui kebaikan yaitu akal, syariat, dan jumhur.
Hal ini sesuai dengan pandangan mu’tazilah. Mimpi ini bukanlah untuk menegaskan tentang pandangan mu’tazilah tentang tahsin dan taqbih yang bersifat rasional sebagaimana sepintas nampak dalam mimpi itu. Akan tetapi hendak mengemukakan sesuatu yang sama sekali berbeda. Ini nampak dengan berlanjutnya dialog antara al-Makmun dan Aristoteles yang mengakhiri pembicaraan dengan mengatakan, “Tidak ada lagi yang lain“.
Penegasan atau Pengukuhan Akal dalam Islam
Mimpi itu menegaskan bahwa tidak ada sumber pengetahuan lain kecuali ketiga hal di atas. Dengan demikian jelas bahwa tujuan mimpi ini bukanlah untuk menegaskan apa yang ia nyatakan, akal, syariat, dan jumhur. Akan tetapi lebih bertujuan untuk menegasikan “tidak ada yang lain” dan ini adalah gnostisisme. Dengan demikian kegiatan penterjemahan dengan biaya yang besar ini tujuan besarnya adalah menentang gnostisisme al-Manawiyah dan Irfan Syiah. Yakni sumber pengetahuan gerakan yang menentang kekuasaan Abbasiyah.
Metode ini (penerjemahan) merupakan strategi besar al-Makmun untuk melawan dasar-dasar epistemologis musuh-musuh Daulah Abbasiyah.
Al-Manawiyah sangat menentang Daulah Abbasiyah khususnya al-Mahdi yang menindas gerakan ini dengan mendirikan dewan Zindiq yang bertugas memburu mereka. Pemburuan ini kemudian menjadi gerakan massa pada tahun 166 Hijriyah di mana mereka dibelenggu oleh al-Mahdi. Di samping perlawanan dengan pedang, perlawanan ini juga dengan pena.
Wasil bin Atha menulis ar-Radd ala az-Zanadiqoh, tapi penolakan ini masih sebatas inisiatif personal dan belum menjadi strategi negara kecuali setelah Daulah Abbasiyah.
Istilah Zindiq pada mulanya khusus kepada kaum al-Manawiyah. Setelah wafatnya al-Mahdi pada tahun 169 Hijriyah cakupan zindiq meluas yakni kafir dzimi atau orang Nasrani, orang Terusir atau Khula’a, termasuk para pelawak (al-Majjan), mereka yang sangat mengedepankan rasio serta para teolog.
Tidak mungkin al-Makmun melawan kelompok zindiq dengan pedang ketika semua lawan Daulah Abbasiyah adalah zindiq. Pada akhirnya ia beralih ke perdebatan rasional yang sistematikanya mampu dia awasi secara pribadi. Jadi ada pertempuran antara al-aql al-mustaqil, misi gnostisisme melawan akal universal, misi Abbasiyah.
Akal untuk Membentengi Islam dari Gnostisisme
Daulah Abbasiyah mulai menekankan akal dalam kebudayaan Arab Islam dan mempertautkannya dengan rasionalitas agama guna melawan serangan gnostisisme.
Gnostisisme menyerang Islam baik secara politik ataupun keagamaan menurut Henry Becker. Dalam hal ini Islam terbantu oleh filsafat Yunani dan bermaksud membentuk dunia ilmu-ilmu keagamaan rasional yang menyerupai dunia era mazhab di Eropa pada abad pertengahan.
Dari sini kita bisa memahami semangat al-Makmun untuk melakukan penerjemahan secara besar-besaran terhadap buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab semangat yang masyarakat Timur tidak bisa memahaminya.
Awal hadirnya Aristoteles yang sesungguhnya baik berkenaan logika, ilmu dan filsafat adalah melalui penerjemahan Hunain bin Ishaq yang wafat tahun 298 Hijriyah. Al-Burhan dan al-Tahlilat al-Tsaniyah dari logika Aristoteles baru terjemahkan ke bahasa Arab pada abad 4 Hijriyah oleh Abu Basyar Mata bin Yunus yang wafat 328 Hijriyah yang hidup semasa dengan al-Farabi.
Sebelum al-Makmun, Aristoteles belum dikenal sebagaimana Ia tidak nampak pada ranah pengetahuan pada era Helenistik di mana saat itu neoplatonisme mendominasi dunia pemikiran.
Hadirnya tradisi kuno pra Islam dalam kebudayaan Arab Islam berlangsung hingga masa al-Makmun adalah terentang ke belakang hingga era helenistik, baik sisi budaya, ilmu maupun sistem pengetahuan.
Adapun pada masa al-Makmun, dengan situasi dan lingkungan yang mengitarinya berlangsung gerakan penghidupan kembali dan pencerahan. Di mana pilar utamanya adalah kembali kepada ushul yaitu akal universal, al-aql al-kauni yakni filsafat Aristoteles. Sehingga dapat kita pahami bahwa masa ini adalah masa di mana akal mengalami peneguhan.
Di sini ada titik temu antara rasionalitas agama dan rasionalitas yang rasionalitas dalam usahanya melawan hermenetisme.
Sumber bacaan:
Al-Fihrisat, karya Ibn an-Nadim dan Bunyat al-‘Aql al-‘Arabiy karya Muhammad Abid al-Jabiriy.