Masih banyak pengetahuan yang belum saya ketahui. Fenomena inilah yang mengharuskan saya agar terus belajar dan mawas diri. Memang benar ungkapan yang mengatakan bahwa, “semakin banyak belajar (membaca), maka semakin banyak hal yang belum kita ketahui”. Diri ini merasa betapa masih jauh dari kata pintar, intelektual atau berpengetahuan luas. Semakin jauh mengarungi samudera, semakin luas samudera yang tidak bisa kita arungi. Oleh karena itu sikap rendah hati harus selalu kita ingat-ingat dalam setiap capaian. Sekali saja lalai, niscaya langkah ini telah berubah arah dan bahkan terperosok dalam kenistaan. Di saat yang sama, posisi kita sebenarnya sedang kembali ke dalam kebodohan yang mendalam dan sulit diselamatkan.

Terus Belajar

Pentingnya semangat dalam belajar adalah supaya membiasakan diri berpikir ilmiyah. Dengan ilmu pengetahuan seseorang akan memiliki landasan yang jelas. Sehingga tidak mudah atau tidak langsung menelan mentah-mentah segala informasi dari luar sebagai kebenaran tunggal, lalu harus segera diikuti dan diimani. Pembelajar yang baik akan berusaha menanya, memeriksa ulang, dan memikirkan matang-matang atas segala hal yang dia dengar.

Seorang pembelajar sejati tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang sudah ia peroleh sebanyak apapun itu. Dalam Islam, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya untuk mencari ilmu hingga akhir hayat.

طلب العلم من المهد إلى اللحد
Mencari ilmu dari buaian hingga kuburan.

Inilah yang menjadi kebiasaan para ahli ilmu sejak dulu, yakni menghabiskan waktunya untuk selalu mencari ilmu. Tidak ada sedetik pun yang sia-sia tanpa pendalaman ilmu.

Ada sebuah riwayat bahwa di penghujung hayatnya, ahli ilmu kondang, Abu Yusuf al-Qadliy, lahir tahun 113 hijriyah, murid Imam Abu Hanifah yang juga pewaris dan penerus mazhab Hanafiyah, membahas sebuah masalah fikih.

Seorang muridnya, Qadli Ibrahim ibn al-Jarah al-Kufiy berkata: “Saat Abu Yusuf sakit, aku menjenguknya. Aku mendapatinya sedang tidak sadarkan diri. Setelah Abu Yusuf siuman, ia berkata kepadaku, Hai Ibrahim! Apa yang kamu katakan tentang sebuah masalah? Aku mejawab, Dalam kasus inikah? Abu Yusuf berkata, Tidak masalah, mari kita bahas, semoga saja dengannya seseorang bisa selamat”.

Kemudian Abu Yusuf bertanya lagi, Wahai Ibrahim! Mana yang lebih utama saat melempar jumrah, berjalan kaki atau berkendara? Aku menjawab, Berjalan. Ia berkata, Salah! Saya mejawab lagi, berkendara. Ia berkata, Salah! Saya meminta Abu Yusuf untuk mejelaskan jawaban yang tepat. Ia menjawab, Adapun dalam keadaan berdoa, maka berjalan kali lebih utama. Namun apabila tidak, maka berkendara lebih utama. Dan setelah ini semua saya mendengar teriakan dari dalam. Dan itulah akhir hayat Abu Yusuf.”

Itulah sekelumit kisah tentang orang yang selalu memanfaatkan waktu yang Allah berikan untuk senantiasa menambah ilmu. Gunakan waktu yang ada sebaik mungkin sebagaimana para ahli ilmu gunakan. Bagi mereka waktu sangat mahal harganya, maka mereka gunakan untuk meraih sesuatu yang berharga. Dan tidak ada yang lebih berharga bagi ahli ilmu selain ilmu pengetahuan. Itulah mengapa mereka tidak pernah lelah untuk terus belajar.

Mawas Diri

Selain daripada itu, ada lagi satu moral yang kudu menjadi perhatian seorang pembelajar sebagaimana sudah saya singgung di awal. Mawas diri adalah sikap kehati-hatian, seorang pembelajar harus pandai mengelola hati dan akalnya, ia tidak boleh jumawa sampai kapanpun. Merasa sudah pintar atau paling pintar di antara orang sekitar merupakan dampak dari kejumawaan. Kesombongan dan kejumawaan hanyak akan menjadikan seseorang semakin bodoh dan hina di depan banyak orang. Orang ini menjadi bodoh karena di saat itu dia sudah tidak mau lagi belajar. Rasa-rasanya semua ilmu sudah ia lahap semua tanpa ada sisa.

Inilah titik terendah dari seorang ahli ilmu dan merupakan cobaan yang paling berat. Sekali saja dihinggapi sifat buruk ini, seseorang akan berubah menjadi makhluk yang paling rendah. Bagaimana tidak? Sebab dengan bersikap sombong, jumawa dan semisalnya, seseorang berubah menjadi monster yang menyeramkan bagi yang lain. Orang yang jumawa nan sombong juga tidak akan bisa meraih ilmu yang banyak dan bermanfaat. Ada syair Arab yang berbunyi:

العلم حرب للفتى المتعالي # كالسيل حرب للمكان العالي
Ilmu adalah musuh bagi pemuda yang sombong, sebagaimana aliran air musuh bagi tempat yang tinggi

Bait syair ini memberikan pesan kepada kita semua bahwa hanya orang-orang yang tawadlu atau rendah hati saja yang sukses dalam mencari ilmu. Sebab hanya orang yang tawadlu saja yang siap mendengarkan ilmu-ilmu baru dari mana saja sumbernya. Hal ini juga senada dengan firman Allah ta’ala:

إن في ذلك لذكرى لمن كان له قلب أو ألقى السمع وهو شهيد
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya.
(QS. Qaf ayat 37)

Yang Harus Dihindari

Ada beberapa hal yang sangat berlawanan dengan sikap di atas dari beberapa kalangan awam. Sikap beberapa di antara mereka sungguh menggelikan dan memprihatinkan. Alih-alih berusaha terus menerus dalam lelahnya belajar. Mereka selalu saja bermalas-malasan jika ada seruan menambah ilmu. Ada saja alasan untuk menghindarinya. Padahal seandainya mereka ditanya, “Apakah anda senang dan butuh ilmu?” Pasti jawabannya, “Iya!”

Mereka adalah segerombolan orang yang tidak punya semangat belajar. Atau jika belajarpun, ternyata bukan belajar aktif. Sehingga mereka selalu berada dalam kubangan kebodohan. Dan yang paling miris adalah apapun yang mereka dengar oleh telinga dan tampak memukau melalui kedua mata segera mereka telan mentah-mentah. Tidak ada perangkat penyaring dalam diri mereka. Selain itu, semua ilmu yang mereka terima harus berdasarkan selera mereka sendiri. Jika tidak, maka ilmu itu tidak layak mereka perhatikan dan dengarkan.

Orang yang seperti saya jelaskan di atas, pada umumnya akan mudah kagum atau gumunan dengan persona yang menggunakan gaya penampilan yang bagus secara penampilan dan retorika. Contoh: penceramah hebat dan kondang menyampaikan materi yang ‘sangat memukau’ dan para pendengar juga Terpukau. Padahal banyak kekeliruan atau ketidak ilmiahan yang dia sampaikan. Namun karena pandangan awam yang tidak sampai pada derajat kritis tersebut, akibat-akibat dari belajar yang masa bodoh dan tidak aktif. Maka semua yang mereka dengar, mereka afirmasi sebagai ajaran mulia bahkan menjadi pegangan hidup.

Contoh di atas sangat banyak terjadi di kalangan awam, bahkan bisa jadi di kalangan pembelajar itu sendiri. Yakni pembelajar yang saya sebut sebagai pembelajar yang mentok. Pembelajar yang sudah merasa cukup dengan yang ada dan tidak mau memperbaiki kekurangannya. Maka sekali lagi, apapun yang kita dengar atau kita ketahui dari siapapun harus kita periksa dulu sesuai kerangka keilmuan yang ada. Tentu semua ini tidak akan ada tanpa adanya upaya terus belajar dan mawas diri.

Sumber bacaan:
Qimatuzzaman, Abdul Fattah Abu Ghudah.
Ihya Ulumiddin, Abu Hamid al-Ghazali.