Setelah memahami arti penting tadabbur untuk kegemilangan dan kejayaan peradaban Islam. langkah selanjutnya adalah mendalami hakekat tadabbur sehingga kita bisa mengaplikasikannya dengan sebaik mungkin dengan berharap hasil yang maksimal.

Tadabbur menurut ahli bahasa memiliki arti tafakkur (berfikir). Namun kata ini memiliki substansi makna yang berkisar seputar akhiran daripada segala sesuatu. Jadi, tadabbur merupakan perenungan atau penalaran terhadap segala sesuatu yang akan terjadi kemudian berikut apa saja yang akan kembali kepadanya. dari sini bisa kita pahami bahwa tadabbur adalah sebuah proses penalaran menyeluruh hingga sampai pada pemahaman puncak dan paripurna terhadap dalil-dalil atau ayat-ayat Al-Quran.
Allah ta’ala berfirman dalam QS. Al-Mukminun ayat 68-70 yang artinya sebagai berikut:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu? Atau (apakah patut) mereka berkata: ‘Padanya (Muhammad) ada penyakit gila’. Sebenarnya dia telah membawa kebenaran kepada mereka, dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu.” QS. (Al-Mukminun: 68-70)
Pada firman Allah ta’ala yang artinya “Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan…” menunjukkan adanya peringatan keras kepada orang-orang yang berpaling dari Al-Quran atau enggan untuk memperhatikan kandungannya. Padahal Al-Quran turun ke bumi untuk dipahami hingga semua muslimin mampu mendapatkan petunjuk dan ilmu darinya. Kemudian di ayat lain juga Allah jelaskan:
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا
“Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur’an? Sekiranya (Al-Qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82)
Ayat ini turun berkenaan dengan sikap orang-orang munafik, yakni orang-orang yang berpenampilan islami, menjalankan ibadah ritual, dan tidak absen di majelis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun hati mereka tidak beriman sama sekali, pikiran-pikiran mereka berpaling pergi menjauh sembari menunjukkan perlawanan dan penentangan terhadap apa yang diterangkan kepada mereka (Al-Quran).
Merekalah orang-orang yang telah mendapatkan hidangan petunjuk yang sangat terang di depan mata mereka, seandainya mereka mau menerimanya, niscaya jalan keselamatan tentu akan mereka dapat. Namun sayang beribu sayang, mereka enggan menerimanya, mereka tidak mau mentadabburinya, hingga kebinasaan adalah satu-satunya hal yang layak mereka rasa. Inilah ganjaran terhadap orang yang tidak mau mentadabburi ayat-ayat petunjuk.
Tadabbur yang memang bertujuan untuk mengungkap hakekat dengan niat yang tulus hanya akan bisa dilakukan oleh orang-orang yang siap menerima Al-Quran, merekalah orang-orang yang tercerahkan mata batinnya. Tidak sebagaimana kaum munafik yang hanya menghadiri majelis Quran namun batin mereka menolak untuk mentadabburinya. Allah ta’ala berfirman:
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا
Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci? (QS. Muhammad: 24)
Ayat ini menggambarkan kondisi kaum munafik yang berpaling dari tadabbur dengan diksi istifham inkari (pertanyaan pengingkaran). Tujuannya adalah untuk mencela perilaku mereka atau siapa saja yang enggan mentadabburi Al-Quran. Mereka yang tidak mentadabburi Al-Quran adalah orang-orang yang hatinya tertutup rapat dan terkunci. Mana mungkin hidayah bisa masuk ke pelataran apalagi ke relung terdalam sanubari mereka?
Sumber: Qowaid at-tadabbur al-Amtsal li Kitabillah ‘Azza wa jalla, karya Syaikh Abdurrahman Hasan Habannakah al-Maidaniy