Berbicara tentang pendudukan Zionis-Israel atas Palestina, orang seringkali merujuk kepada Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem Timur sebagai wilayah pendudukan (occupied territories). Rujukan ini didasarkan atas Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 (1967) dan 338 (1973) yang menuntut Israel mundur dari wilayah-wilayah yang didudukinya dalam perang 1967 dan 1973. Namun Rujukan tersebut bertendensi mengaburkan beberapa fakta. Dan inilah yang menjadikan warga Gaza memiliki hak perlawanan atas kebiadaban Zionis-Israel. Adapun fakta-fakta yang kabur dalam pandangan media-media dan mata kebanyakan orang adalah sebagai berikut.
Pertama, Israel sebenarnya hanya mendapatkan “hadiah” atas tanah historis Palestina sekitar 55% (dalam sumber lain 53%) berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 181 (1947). Namun pelan tapi pasti kemudian Israel mengakuisisi secara paksa wilayah-wilayah tambahasan hingga menjadi 78%. Artinya sejak pembagian yang tidak adil tersebut Zionis-Israel telah menguasai 23% wilayah tambahan.
Kebijakan penguasaan wilayah melalui penaklukan militer telah melanggar prinsip-prinsip hukum internasional diantaranya The Hague Conventions 1907 dan Piagam PBB pasal 2 paragraf 4. Karenanya, wilayah-wilayah yang dimasukkan ke dalam kedaulatan Israel selama perang 1948 harus juga dipandang ilegal.
Dengan demikian, kota-kota seperti Beersheba Selatan Israel yang menjadi sasaran serangan balasan rocket-roket pejuang Palestina selama invasi Gaza 2008-2009 dan Acre Utara Israel yang menjadi sasaran serangan balasan roket-roket Hizbullah Lebanon harus juga dimasukkan ke dalam wilayah pendudukan karena ditetapkan oleh resolusi 181 menjadi bagian dari wilayah negara Arab, bukan Yahudi.
Sayangnya, faktor hukum tersebut diabaikan oleh serentetan ‘proses perdamaian’ yang disponsori Amerika Serikat. Akibatnya penguasaan ilegal atas wilayah-wilayah di atas selama perang 1948 justru diterima sebagai batas-batas Sementara negara Israel.
Tidak sebatas itu, selama perang 1948 Israel juga telah melakukan pembersihan etnis atas bangsa Palestina yang berada di bawah wilayah di luar UN Partition Plan, dengan setidaknya melakukan 33 pembantaian – yang paling brutal adalah terhadap warga desa Deir Yassin – menghancurkan 531 desa Palestina dan mengusir 750.000 lebih bangsa Palestina.
Norman Finkelstein, penulis ternama Yahudi-Amerika, dalam bukunya Beyond Chutzpah, menulis, “Menurut mantan direktur arsip militer Israel, ‘hampir di setiap desa yang diduduki oleh kami selama perang kemerdekaan (1948), tindakan-tindakan yang didefinisikan sebagai kejahatan perang telah dilakukan, seperti pembunuhan, pembantaian, dan pemerkosaan’… Uri Milstein, sejarawan otoritatif Israel pada perang 1948 mengatakan lebih jauh bahwa ‘setiap pertempuran berakhir dengan pembantaian orang-orang Arab.”
Kedua, dalam pandangan prinsip hukum internasional resolusi majelis umum 181 harus dinyatakan sebagai sebuah keputusan ilegal. Ia berada di luar kewenangan (ultra vires) majelis umum PBB dan bertentangan dengan norma absolut (jus cogens), yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self determination) yang dimiliki populasi asli tanah historis Palestina sebagaimana diamanatkan dalam deklarasi universal hak asasi manusia dan secara eksplisit disebutkan dalam konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik.
Selain itu, dalam pandangan moral, resolusi 181 yang membelah Palestina berdasarkan preferensi rasial negara Arab dan Yahudi adalah putusan rasis. Tidak pernah ada negara yang menetapkan secara eksklusif status kebangsaanya (nationality) berdasarkan etnik dan agama tertentu. Prinsip universal yang manusiawi meniscayakan kewarganegaraan (citizenship) sebagai status kebangsaan suatu negara.
Ada satu pertanyaan yang sering dilontarkan para pendukung propaganda Israel, yakni mengapa pada 1947 negara-negara Arab menolak resolusi majelis umum PBB 181, yang membelah tanah historis Palestina menjadi wilayah-wilayah bagi negara Yahudi dan Arab? Lebih lanjut kata mereka, seandainya negara-negara Arab waktu itu menerima resolusi tersebut, tentunya kondisinya tidak akan seperti sekarang.
Selain karena dua alasan prinsip di atas untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus Melihat fakta-fakta sebagai berikut.
Pertama, pada 1945 populasi warga Yahudi di Palestina di bawah 8% dari total populasi, dengan hanya memiliki 2% lahan dari tanah historis Palestina. Kedua pada 1947 menjadi 33% dengan hanya memiliki 7% lahan dari tanah historis Palestina. Lagipula, sebagian besar dari mereka masih mempertahankan kewarganegaraan dari negara-negara asal mereka seperti Rusia, Polandia, Romania, dan Jerman.
Dengan memperhatikan fakta-fakta di atas, tidaklah mengherankan jika negara-negara Arab menolak resolusi 181 yang menghadiahi lebih daripada setengah tanah Palestina kepada minoritas imigran asing untuk didirikan di atasnya sebuah negara berdasarkan ras. Bayangkan jika sebuah resolusi PBB, misalnya, membagi separuh wilayah Amerika Serikat kepada imigran imigran Kanada dan Meksiko yang memiliki kurang daripada 7% tanah Amerika untuk didirikan di atasnya sebuah negara etnis Kanada atau Meksiko. Akankah orang-orang Amerika menerima resolusi itu? Jika tidak, lantas Mengapa bangsa Palestina harus menerimanya?
Resolusi majelis umum PBB 181 jelas tidak adil dan lebih daripada itu tidak sejalan dengan prinsip menentukan nasib sendiri yang dimiliki setiap populasi asli sebuah wilayah.
Dr. Walid Kholidi, sejarawan ternama Palestina, secara bernas mengekspresikan mengapa bangsa Palestina menolak pemisahan tanah air mereka, penduduk asli Palestina seperti juga penduduk-penduduk Asli setiap negeri di dunia Arab Asia, Afrika, dan Eropa, menolak untuk berbagi tanah dengan penjajah.
Dalam sebuah ekspresi yang aneh, ben Gurion, Perdana Menteri pertama negara Israel, bahkan membenarkan apa yang dilakukan para pemimpin Arab ketika menolak resolusi 181 tentang pembagian tanah Palestina.
“Mengapa orang-orang Arab harus berdamai? Jika aku pemimpin Arab, aku tidak akan pernah berdamai dengan Israel. Itu alamiah: kita telah merambah Negeri mereka titik tentu saja, Tuhan telah menjanjikan bagi kita, tetapi apakah itu penting buat mereka? Tuhan kita bukan Tuhan mereka. Kita datang dari Israel, itu benar, tapi itu 2000 tahun yang lalu, dan Apa itu penting buat mereka? Ada anti-semitisme, Nazi, Hitler, Auschwitz, tetapi apakah itu kesalahan mereka? Mereka hanya melihat satu hal: kita datang ke sini dan mencuri tanah mereka. Mengapa mereka harus menerima itu?”
Ketika kemudian PLO mendeklarasikan kemerdekaan Palestina pada 1988 dengan menerima resolusi 181, lantas Apakah Israel mengakui kemerdekaan tersebut? Jawabannya tidak. Bahkan, selama 61 tahun rezim Zionis Israel terus menganeksasi tanah milik Palestina yang tersisa dan berupaya agar setiap ‘proses perdamaian’ mengakui tindakan-tindakan illegal mereka itu.
Tepi barat yang kerap mereka sebut sebagai Judea-Samaria di kerat-kerat oleh hadirnya pemukiman-pemukiman Yahudi. Dinding-dinding pemisah, dan ratusan pos pemeriksaan (cekpoint), yang semuanya bertentangan dengan The Hague Convention dan The Geneva Conventions sehingga memaksa warga Palestina hidup dalam bantustan-bantustan yang terpisah-pisah satu sama lain.
Israel memang telah menarik mundur pasukannya dan memindahkan pemutihan-pemukiman Yahudi dari Jalur Gaza. Namun, blokade ekonomi berikut kendali atas wilayah udara, air dan perbatasan-perbatasan darat dari wilayah kecil tersebut sama sekali tidak bermakna sebuah akhir dari suatu pendudukan.
Kebijakan para pemimpin Zionis untuk menerima resolusi 181 tidak lain hanyalah kamuflase untuk memperoleh pengakuan internasional atas eksistensi sebuah negara Yahudi. Terbukti hanya satu hari setelah pemungutan suara di majelis umum PBB yang menyepakati resolusi 181, Manchem Begin, komandan geng teroris Irgun yang kemudian menjadi perdana menteri Israel 1977 hingga 1983 mengatakan, “Pembagian Palestina itu ilegal. Itu tidak akan diakui….. Yerusalem selamanya akan menjadi ibukota kita. Erets Israel (Israel Raya) akan ditegakkan bagi bangsa Israel. Seluruhnya. Dan untuk selamanya.”
Tak terkecuali juga Ben Gurion. Dia bahagia sekaligus sedih ketika PBB memutuskan untuk membagi tanah Palestina. Dia bahagia karena pada akhirnya Yahudi bisa memiliki sebuah negara sendiri. Di sisi lain, dia sedih karena tidak bisa memiliki seluruhnya. Dan juga karena Israel harus rela menerima sebagian orang Palestina sebagai warga negaranya. Dia memandang bahwa negara Israel tidak akan bertahan hidup hanya dengan 55% tanah Palestina. Jadi sesuatu harus dilakukan di masa yang akan datang untuk menuntaskan Erets Israel.
“Di dalam hatiku, ada sukacita yang bercampur dengan kesedihan: sukacita karena bahasa-bahasa pada akhirnya mengakui bahwa kita adalah sebuah bangsa dengan sebuah negara. Dan kesedihan karena kita kehilangan setengah dari negara ini, yudea dan Samaria tapi barat dan ditambah lagi kita memiliki 400.000 orang Palestina Arab.“
Persoalan ini demikian terang benderang bagi mereka yang mau mengetahui dan menyadarinya. Apa yang disebut sebagai konflik Israel-Palestina bukanlah sengketa kedaulatan atas suatu wilayah. Dan tentu saja bukan pula konflik agama, tetapi pendudukan yang berkepanjangan dan dalam prosesnya telah melahirkan sejumlah kejahatan yang merampas hak bangsa Palestina untuk menentukan nasib sendiri. Pendudukan tersebut tidak hanya berlangsung di tepi barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur tetapi di seluruh tanah historis Palestina.
Inilah yang mengharuskan warga palestina, khususnya Gaza, melakukan perlawanan. Perjuangan mereka dalam merebut kembali kebebasannya dan tanah airnya adalah hak sepenuhnya. Namun sayangnya media-media bebek barat selalu mengaburkan fakta ini. Mirisnya banyak manusia di muka bumi ini yang terperdaya. Sekali lagi perlu saya tegaskan, Gaza memiliki hak penuh untuk melawan.
Sumber bacaan: Gelegar Gaza, Denyut Perlawanan Palestina, Muhsin Labib dan Irman Abdurrahman. Zahira Publishing House.