Setelah menjalani Ibadah puasa selama sebulan lamanya, kaum muslimin dengan suka cita merayakan kegembiraannya di bulan Syawal dengan hari raya lebaran atau Idul Fitri. Di hari ini Allah memerintahkan kaum muslimin untuk makan dan minum dan mengharamkan puasa. Di sini akan saya paparkan beberapa hal penting yang perlu kita ketahui untuk menambah wawasan terkait bulan Syawal sehingga kita bisa melakukan hal-hal yang bermakna di bulan ini.

Makna Syawal dan Idul Fitri

Makna Syawal

Bangsa Arab mengenal jenis burung yang disebut an-Nauq, yang biasanya kalau burung ini bunting di bulan ini dan mengangkat sayap serta ekornya maka akan terlihat kurus badannya. Mengangkat sayap atau ekor disebut dengan syāla yang merupakan asal kata dari nama bulan Syawal. Maka Syawal (syawwal) berarti peningkatan atau meningkatkan.

Makna ‘Id

Asal usul kata ‘Id adalah āda – ya’ūdu yang artinya kembali. Dua perayaan besar Islam Fithri dan Adlha disebut ‘Id karena kembali setiap tahunnya.

‘Id disebut juga sebagai hari yang menyatukan atau mengumpulkan orang-orang. Seolah-olah mereka kembali dari daerah atau tempat atau waktu tertentu. Ini yang kemudian menjadi ciri khas di masyarakat nusantara terutama Indonesia. Pada momen lebaran Idul fitri biasanya orang-orang dalam perantauan akan kembali ke kampung halaman dalam rangka bersilaturrahim melepas kerinduan setelah setahun lamanya berpisah.

‘Id juga dikatakana sebagai hari libur untuk kembali pada kesenangan dan kegembiraan. Syekh Ibn Taimiyah berkata: “’’Id adalah sebutan untuk apa yang kembali dari suatu yang sudah biasa, baik kembalinya tahun, bulan, pekan atau semacamnya.”

Ibn ‘Abidin berkata: “Disebut sebagai ‘Id karena kembalinya semua kebaikan adalah untuk Allah ta’ala. Yaitu jenis-jenis kebaikan kembali kepada hamba-hambaNya setiap hari, di antaranya berbukan setelah pantang makan, bersedekah fitri (zakat fitrah), menunaikan ibadah haji, bisa menyembelih hewan kurban dan lain sebagainya. Semua kebaikan amalan tersebut untuk Allah dan kebaikannya untuk manusia.

Dan kata ‘Id ada dalam Al-Quran surat Al-Maidah, kisah tentang Nabi ‘Isa dengan para kaumnya (ayat 112-114).

اِذْ قَالَ الْحَوَارِيُّوْنَ يٰعِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ هَلْ يَسْتَطِيْعُ رَبُّكَ اَنْ يُّنَزِّلَ عَلَيْنَا مَاۤىِٕدَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ ۗقَالَ اتَّقُوا اللّٰهَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ قَالُوْا نُرِيْدُ اَنْ نَّأْكُلَ مِنْهَا وَتَطْمَىِٕنَّ قُلُوْبُنَا وَنَعْلَمَ اَنْ قَدْ صَدَقْتَنَا وَنَكُوْنَ عَلَيْهَا مِنَ الشّٰهِدِيْنَ قَالَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللّٰهُمَّ رَبَّنَآ اَنْزِلْ عَلَيْنَا مَاۤىِٕدَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ تَكُوْنُ لَنَا عِيْدًا لِّاَوَّلِنَا وَاٰخِرِنَا وَاٰيَةً مِّنْكَ وَارْزُقْنَا وَاَنْتَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ

112.  (Ingatlah) ketika para pengikut setia Isa berkata, “Wahai Isa putra Maryam, sanggupkah (bersediakah) Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?” Isa menjawab, “Bertak-walah kepada Allah jika kamu orang-orang mukmin.”

113.  Mereka berkata, “Kami ingin makan darinya (hidangan itu) dan agar tenteram hati kami serta agar kami yakin bahwa engkau telah berkata benar kepada kami, dan atasnya (hidangan itu) kami termasuk orang-orang yang menjadi saksi.”

114.  Isa putra Maryam berdoa, “Ya Allah Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang sekarang bersama kami maupun yang datang setelah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu. Berilah kami rezeki. Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (Al-Ma’idah:112-114)

Maka ‘id atau hari raya yang disebutkan dalam Surat Al-Ma’idah adalah permintaan nabi ‘Isa ‘alaihissalam, meminta menurunkan sebuah meja dari surga untuk hidangan makanan umatnya, dan itu akan menjadi ‘id bagi mereka yang pertama dan yang terakhir bagi mereka.

Sehingga Hari raya umat Islam ada Idul Fitri dan raya Idul Adha. Hari raya Idul Fitri bertepatan dengan diawalinya bulan Syawal, yaitu tanggal 1 Syawal.

Dan menariknya, di Indonesia ini ada peringatan khusus dan spesial yang tidak ada dinegara-negara lain. Peringatakn tersebut adalah Halal bi Halal. Sebuah peringatan yang dicetuskan oleh seorang ulama Indonesia yang sangat hebat yakni KH. Abdul Wahab Hasbullah sang pahlawan nasional, penggerak dan pendiri jam’iyyah terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama. Untuk lebih detail bagaimana asal mula halal bi halal tidak akan saya singgung di sini. Hanya saja saya perlu sampaikan poin penting dari halal bi halal adalah adanya jalinan tali kekeluargaan, kekerabatan, bahkan persahabatan yang lebih baik daripada sebelum-sebelumnya.

Yang Dilakukan Bulan Syawal:

  1. Allah Ta’alaa berfirman, yang artinya:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

 “…hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah Ta’alaa (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Ayat ini menjelaskan bahwasanya ketika orang sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan maka disyariatkan untuk mengagungkan Allah Ta’alaa dengan bertakbir.

  • Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ   keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5621)
  • Diriwayatkan dalam oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari dengan isnad hasan dari Jabir bin Nafir ia berkata, “bahwa para sahabat Rasulullah ketika berjumpa atau bertemu antara satu dengan yang lainnya saling mengucapkan taqobballahu minnaa wa minka (semoga Allah menerima dari kita (amalan sholih) dan engkau)”. Riwayat lain juga menyampai taqobballahu minnaa wa minkum sholihal a’mal (semoga Allah menerima dari kita (amalan sholih) dan kalian)”. Jawaban untuk kedua doa di atas, “Allahumma amiin minnaa wa minka/minkum, Insya Allah (Ya Allah kabulkanlah amal sholih dari kami dan engkau, Insya Allah).
  • Telah menceritakan kepada kami (HUsyaim), telah mengabarkan kepada kami (Kalid) dari (Abul Malih) dari (Nusaibah Al Hudzali) dia berkata; Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Hari-hari Tasyrik (tanggal sebelas, dua belas dan tiga belas Dzulhijjah) adalah hari-hari untuk makan, minum dan berdzikir kepada Allah ‘azza wajalla.”
  • Di suatu hari raya Rasulullah keluar rumah untuk melaksanakan shalat Idul Fitri . Sementara anak-anak kecil tengah bermain riang gembira di jalanan. Tetapi tampak seorang anak kecil duduk menjauh berseberangan dengan mereka. Dengan pakaian sangat sederhana dan tampak murung, ia menangis tersedu. Melihat fenomena ini Rasulullah segera menghampiri anak tersebut. “Nak, mengapa kau menangis? Kau tidak bermain bersama mereka?” Rasulullah membuka percakapan. Anak kecil yang tidak mengenali bahwa orang dewasa di hadapannya adalah Rasulullah menjawab, “Paman, ayahku telah wafat. Ia mengikuti Rasulullah dalam menghadapi musuh di sebuah pertempuran. Tetapi ia gugur dalam medan perang tersebut.” Rasulullah terus mengikuti cerita anak yang murung tersebut. Sambil meraba ke mana ujung cerita, Nabi mendengarkan dengan seksama rangkaian peristiwa dan nasib malang yang menimpa anak tersebut. “Ibuku menikah lagi. Ia memakan warisanku, peninggalan ayah. Sedangkan suaminya mengusirku dari rumahku sendiri. Kini aku tak memiliki apa pun. Makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Aku bukan siapa-siapa. Tetapi hari ini, aku melihat temanteman sebayaku merayakan hari raya bersama ayah mereka. Dan perasaanku dikuasai oleh nasib kehampaan tanpa ayah. Untuk itulah aku menangis.” Mendengar penuturan ini, batin Rasulullah terenyuh. Ternyata ada anak-anak yatim dari sahabat yang gugur membela agama dan Rasulnya di medan perang mengalami nasib malang begini. Rasulullah segera menguasai diri. Rasul yang duduk berhadapan dengan anak ini segera menggenggam lengannya.

“Nak, dengarkan baik-baik. Apakah kau sudi bila aku menjadi ayah, Aisyah menjadi ibumu, Ali sebagai paman, Hasan dan Husein sebagai saudara, dan Fatimah sebagai saudarimu?” tanya Rasulullah. Mendengar tawaran itu, anak ini mengerti seketika bahwa orang dewasa di hadapannya tidak lain adalah Nabi Muhammad ﷺ . “Kenapa tak sudi, ya Rasulullah?” jawab anak ini dengan senyum terbuka. Rasulullah kemudian membawa anak angkatnya pulang ke rumah. Di sana anak ini diberikan pakaian terbaik. Ia dipersilakan makan hingga kenyang. Penampilannya diperhatikan lalu diberikan wangi-wangian. Setelah beres semuanya, ia pun keluar dari rumah Rasulullah dengan senyum dan wajah bahagia. Melihat perubahan drastis pada anak ini, para sahabatnya bertanya. “Sebelum ini kau menangis. Tetapi kini kau tampak sangat gembira?” “Benar sahabatku. Tadinya aku lapar, tetapi lihatlah, sekarang tidak lagi. Aku sudah kenyang. Dulunya aku memang tidak berpakaian, tetapi kini lihatlah. Sekarang aku mengenakan pakaian bagus. Dulu memang aku ini yatim, tetapi sekarang aku memiliki keluarga yang sangat perhatian. Rasulullah ﷺ  ayahku, Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudaraku, Ali pamanku, dan Fatimah adalah saudariku. Apakah aku tidak bahagia?” Mendengar sahabatnya, mereka tampak menginginkan nasib serupa. “Aduh, cobalah ayah kita juga gugur pada peperangan itu sehingga kita juga diangkat sebagai anak oleh Rasulullah ﷺ.

Kisah ini dikutip dari Durratun Nashihin karya Syekh Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir Al-Khubawi, tanpa tahun, Surabaya, Syirkah Ahmad bin Saad bin Nabhan wa Auladuh, halaman 264-265.

  • Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui ‘Aisyah dan di sisinya ada seorang wanita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa ini?” ‘Aisyah menjawab, “Si fulanah yang terkenal luar biasa shalatnya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Jangan seperti itu. Hendaklah engkau beramal sesuai kemampuanmu. Demi Allah, Allah itu tidak bosan untuk menerima amalanmu hingga engkau sendiri yang bosan. Sesungguhnya amalan yang paling disukai oleh Allah adalah yang dikerjakan secara kontinu.” (HR. Bukhari, no. 43 dan Muslim, no. 485).

Setelah melewati bulan penuh keberkahan, bulan Ramadhan hendaknya kebaikan tersebut terus berlanjut pada bulan berikutnya, bulan Syawal.

  • Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim, no. 1164).
  • Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Siapa yang berpuasa Ramadhan dan terbetik dalam hatinya, nantinya bakda Ramadhan setelah tidak berpuasa lagi, ia bertekad tidak akan bermaksiat kepada Allah, maka ia akan masuk surga tanpa masalah, tanpa dihisab. Namun, siapa yang berpuasa Ramadhan dan ia terbetik dalam hatinya bakda Ramadhan setelah tidak berpuasa lagi, ia akan bermaksiat kepada Allah, maka puasanya tertolak.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 390).

Dari hadist dan perkataan sahabat diatas, seyogyanya kita terus melanjutkan kebaikan yang telah dibiasakan di bulan Ramadhan. Sehingga Allah sampaikan kita kepada derajat orang yang dicintai Allah karena keistiqomahan yang kita lakukan.

Kesimpulan Bulan Syawal

  1. Bulan Syawal adanya hari raya Idul Fitri
  2. Hari raya hari berbahagia dan bersenang-senang
  3. Syawal bulan menyempurnakan ibadah puasa (puasa syawal; 6 hari)
  4. Syawal bulan menjaga ibadah yang telah dijalankan selama bulan Ramadhan sehingga tercatat sampai derajat istiqomah
  5. Syawal bulan meningkatkan kualitas diri untuk terus baik
  6. Meraih cinta Allah dengan tetap istiqomah menjaga ibadah-ibadah yang dilakukan di bulan Ramadhan, seperti infaq, shodaqh, menjaga llisan, berbakti kepada orangtua