Memaksimalkan semua anugerah yang telah Allah berikan ternyata tidak mudah. Maksimal yang saya maksud di sini adalah menggunakan dengan sebaik mungkin (bijaksana) sesuai fungsinya masing-masing. Terlalu sulit dan sangat tidak mungkin bagi manusia manapun untuk menghitung anugerah Allah. Mungkin inilah yang menjadikan kebanyakan mereka susah untuk merasakan keagungan Allah dan sulit meraba kebesaranNya. Sehingga untuk memaksimalkan anugerah tersebut otomatis menjadi sulit juga. Tetapi kesulitan ini tidak otomatis menjadikan seseorang menjadi malas atau enggan untuk memaksimalkan anugerah yang ada. Justru harusnya dengan kelemahan inilah, seseorang terus memaksa diri dengan sepenuh kemampuan guna menemukan jejak-jejak keagungan dan kebesaranNya yang sesungguhnya menyatu dalam dirinya.
Mengapa harus memaksimalkan anugerah? Pertanyaan ini sengaja saya dahulukan. Sebab tanpa memahami alasan suatu perbuatan atau tindakan, seseorang akan sembarangan dalam menjalankannya, dan umumnya aktivitas yang seperti itu tidak akan bertahan lama.
Jawaban untuk pertanyaan di atas, mengapa seseorang perlu memaksimalkan anugerah adalah agar ia hidup bahagia baik di dunia maupun akherat. Bahkan kebahagiaan itu tidak hanya untuk diri sendiri akan tetapi bisa menyebar ke orang terdekat/orang lain, dan bahkan seluruh penghuni jagad raya. Kita sadar bahwa semua manusia di manapun sangat mendambakan kebahagiaan sejati. Bahkan semut-semut kecil yang berjalan mondar-mandir, itu semua dalam rangka mencari kebahagiaan. Jadi sangat jelas, ujung dari memaksimalkan anugerah adalah kebahagiaan, bukan kesengsaraan. Harusnya seperti itu.
Namun anehnya justru sering kita jumpai fenomena-fenomena yang menyedihkan hingga membuat geram. Bukannya membawa pada kebahagiaan justru kenikmatan menjerumuskan ke jurang kenestapaan. Misal saja ada seorang yang diberikan harta berlimpah yang hanya digunakan untuk dihambur-hamburkan dalam dosa-dosa, seperti membeli dan mengkonsumsi narkoba. Dia tahu bahwa narkoba sangat membahayakan, tetapi tetap saja tidak dia pedulikan.
Hal di atas bisa terjadi karena banyak yang tidak tahu dan tidak sadar bahwa kenikmatan harusnya digunakan untuk kemaslahatan dan ketaatan bukan sebaliknya. Sebab kebodohan inilah seseorang kemudian berbuat seenaknya. Mungkin untuk sesaat ia mendapatkan rasa senang, tetapi hakekatnya kesengsaraan sedang mengintainya. Dan pada akhirnya ia tergulung dalam pusaran kesengsaraan yang tak berkesudahan.
Mungkin contoh di atas terlalu mencolok dan hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang jauh dari nilai-nilai. Maka di sini saya coba sebutkan bahwa di belakang itu masih sangat banyak tindakan-tindakan lain yang tak disadari oleh kalangan ilntelek maupun beriman yang merupakan sesuatu yang jauh dari kemaslahatan dan ketaatan. Misal saja nikmat harta yang digunakan secara tidak bijaksana seperti konsumerisme berlebihan atau pemborosan.
Hari ini masyarakat dunia sedang dalam kehidupan yang memprihatinkan. Berbelanja sudah menjadi hobi dan gaya hidup kebanyakan orang. Ini sungguh aneh. Saya katakan aneh karena kebanyakan mereka berbelanja bukan untuk kebutuhan tetapi hanya kepuasan sesaat.
Lihat saja bagaimana mungkin ada baju yang sebenarnya masih sangat layak pakai akan tetapi sudah tidak dipakai lagi atau bahkan dianggap sudah menjadi sampah yang harus dibuang sia-sia. Alasannya lucu, hanya karena sudah ketinggalan model maka orang tidak mau memakainya atau dengan alasan-alasan lain yang tidak logis.
Bahagiakah orang yang bersikap boros? Jawabannya adalah sangat tidak bahagia. Manusia-manusia seperti itu setiap hari tersiksa dengan keinginannya. Maka di sini perlu kesadaran total supaya belenggu tersebut bisa telepas.
Kemudian contoh lain adalah harta yang tidak digunakan untuk berderma atau kepentingan sosial. Ini juga bentuk penyia-nyiaan anugerah. Kok bisa? Bukankah dengan menggenggam harta untuk diri sendiri berarti harta tersebut dalam keadaan aman?
Sekarang kita harus sadar sebetulnya harta yang hanya disimpan untuk diri sendiri justru akan sia-sia bahkan membinasakan dan yang didermakan kepada yang berhak akan membahagiakan. Alasannya sebenarnya cukup sederhana, seandainya ada orang yang setiap hari menimbun harta dan hanya membelanjakannya untuk keperluan pribadinya saja, maka harta itu bisa jadi tidak habis karena antara yang disimpan dan yang dikeluarkan lebih banyak yang disimpan. Seandainya orang tersebut meninggal dunia maka harta kekayaannya otomatis menjadi sia-sia. Sebelum meninggal pun harta kekayaannya selalu menyiksa dan memperbudaknya. Tentu hal ini tidak perlu dipanjanglebarkan sebab sebenarnya semua orang tahu bagaimana keadaan orang yang kikir atau bakhil.
Bandingkan dengan orang yang bersikap seimbang dalam urusan harta. Sebagian untuk diri sendiri, sebagian untuk keluarga, dan sebagian untuk kepentingan sosial. Orang yang seperti ini sudah dipastikan sangat beruntung dan hidupnya penuh kebahagiaan.
Ini baru berbicara kenikmatan atau anugerah berupa harta belum yang lain. Memang betul apa yang disampaikan Allah dalam Al-Qur`an bagaimana manusia tidak akan mungkin bisa menghitung nikmat-nikmatNya. Untuk silakan pembaca merenung sendiri tentang nikmat-nikmat yang diberikan. Kemudian setelah itu melakukan rencana-rencana yang jelas dan bijaksana dalam menggunakannya supaya hidup ini menjadi bermakna dan bahagia sebagaimana sudah saya ungkap di awal.
Jadi kesimpulan dari pemaksimalan kenikmatan atau anugerah yang saya sampikan di atas adalah agar tatanan kehidupan manusia dalam segala aspeknya menjadi tertib sesuai aturan. Dalam mencapai harapan ini, butuh rasa dan amaliah yang sejalan dengan syukur. Sebab para ahli ilmu mengatakan bahwa setiap kenikmatan yang Allah berikan kepada seorang hamba baik yang berupa nikmat keimanan dan keduniawian semuanya harus disyukuri. Bahkan kemauan dan kemampuan bersyukur pun memerlukan syukur yang lain karena juga termasuk dalam bentuk kenikmatan dan begitu seterusnya tanpa terhenti.
Dan hakekat syukur itu adalah mengakui adanya kelemahan dalam diri untuk bersyukur. Sebagaimana saya sampaikan di awal, memang syukur itu berat, tetapi dengan itu selagi masih ada upaya untuk terus bersyukur kita adalah termasuk orang yang bersyukur.
Suatu saat Musa berkata di gunung Thur, “Wahai Rabbku, seandainya aku mampu salat darimu, seandainya aku mampu bersedekah darimu, dan seandainya aku mampu menyampaikan risalahmu darimu juga. Lalu bagaimana caranya aku bersyukur, Allah menjawab, Sekarang engkau telah bersyukur.“
Hakekat bersyukur adalah adalah adanya pengakuan tentang kelemahan diri dari rasa syukur. Dengan menganggap diri lemah maka seseorang akan sadar tentang pentingnya syukur sehingga ia akan terus berusaha. Dalam surah Ibrahim dijelaskan:
وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَظَلُومٞ كَفَّارٞ…
34. …. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS. Ibrahim: 34)
Dalam al-Baqarah ayat 152:
فَٱذۡكُرُونِيٓ أَذۡكُرۡكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِي وَلَا تَكۡفُرُونِ
152. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ
7. Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.