Pada tulisan kali ini saya akan membahas tema “Membangun Peradaban dengan Membaca”. Umumnya, seseorang tentu akan mengerahkan semua energi dan waktunya untuk mencapai hal-hal yang ia inginkan. Selain itu ia juga akan melakukan kalkulasi/perhitungan detail dan rinci. Seperti misal ketika ia membangun sebuah gedung dan lain sebagainya. Sebab salah atau kurang sedikit saja, maka akan berdampak pada cacatnya bangunan. Oleh karena itu, sebagaimana kita yakini bersama, membangun sebuah peradaban jauh lebih besar usaha dan ketelitiannya. Kita tidak boleh serampangan dalam segala persiapan dan upaya untuk mewujudkannya.
Mukadimah, Bagaimana Membangun Peradaban Manusia?
Manusia merupakan inti peradaban. Kemegahan gedung pencakar langit, kecanggihan perusahaan industri manufaktur, serta lengkapnya infrastruktur –tentu semua ini tidak akan ada dan seandainya ada– tidak ada gunanya sama sekali jika kita tidak mampu membangun peradaban manusianya. Manusia yang berperadaban adalah manusia yang akal pikiran, jiwa dan raganya hidup. Manusia-manusia seperti inilah yang merdeka, mulia, dan kuat.
Jika kita amati, semua bangsa besar yang pernah tumbuh megah selalu memiliki peradaban kemanusiaan yang luhur dan berkualitas. Dan bangsa yang hancur adalah bangsa yang peradaban manusianya mengalami kemerosotan. Hal ini sudah menjadi sunnatullah di sepanjang perjalanan sejarah umat manusia. Oleh sebab itu, adalah sebuah kebodohan jika ada sekelompok orang atau seseorang yang mengabaikan perbaikan dalam sisi kemanusiaan yang berperadaban.
Pada intinya sebuah proyek membangun peradaban bukan melulu gagasan yang dikerjakan oleh seseorang atau sekelompok orang. Tetapi berupa jawaban atas masalah-masalah besar yang merupakan challenge atas sejarah dan pembaruan realitas suatu masyarakat.
Inilah Jawabannya: Membaca!
Untuk itu, membaca adalah jawabannya. Artinya, dalam membangun sebuah peradaban suatu masyarakat harus memulainya dengan membaca. Kenapa demikian? Karena kebangkitan masyarakat itu berawal dari bangkitnya individu-individu atau tiap-tiap anggotanya. Namun, seseorang tidak akan bisa bangkit jika tidak mau mengembangkan daya pikirnya. Dan daya pikir tidak akan berkembang sempurna kecuali dengan membaca.
Sebenarnya kita memiliki kewajiban untuk membaca (mempelajari) apa saja yang tertangkap oleh indera kita. Kitab suci, buku pelajaran, jalan, debu, dan lain sebagainya yang Allah ta’ala ciptakan.
Namun sayangnya kita terlalu angkuh dan amat sombong. Kita menganggap semua itu tidak penting untuk menjadi bahan bacaan. Atau ketika mau membaca, ternyata kita “pilih kasih”. Buku ini bagus, buku itu tidak. Kita lupa jika persepsi demikian adalah tipuan akal sempit semata, yang sengaja Allah ciptakan sebagai ujian atas tingkat kebijaksanaan kita.
Inilah yang menyebabkan kita cenderung tidak bisa menyaksikan segala sesuatu yang diciptakan Allah secara utuh. Kita hanya bisa mencari perbedaan, tanpa mau belajar untuk menguak rahasia persamaan. Kita hanya bisa menyalahkan, tanpa mau menyediakan hati untuk menerima.
Membaca yang Baik untuk Sebuah Peradaban
Membaca merupakan seni karena mampu melahirkan seorang intelektual yang matang. Kecemerlangan pemikiran dan gagasan yang ia miliki tentu tidak muncul dari membaca yang serampangan tanpa seni (teknik). Jadi untuk melahirkan intelektual handal butuh keterampilan, strategi, dan teknik membaca yang baik.
Dalam tulisan kali ini saya tidak akan membahas teknik dan seni membaca karena tema ini butuh ruang khusus. Namun saya akan sedikit menyebutkan bagaimana ‘seni’ orang-orang dulu dalam aktivitas membaca yang mampu membangun peradaban.
Contoh Pembaca Ideal
Cinta Baca dan Peduli Terhadap Bacaannya
Dulu ada seorang tokoh besar, namanya adalah Syafi’ bin Ali al-‘Asqalaniy. Dia adalah contoh orang yang sangat peduli dan mencintai buku-bukunya. Dalam sebuah kisah, sangking cintanya dia pada buku, ketika dia memegang salah satu di antara buku-bukunya, maka dia mampu menjelaskan kapan kali pertama buku itu dia dapatkan dan dari mana asalnya. Identitas sebuah buku dia kuasai secara detail. Selain itu, dia juga mampu dengan spontan dan cepat, hanya dengan sekali pencarian, untuk menemukan sebuah buku yang dia kehendaki, padahal koleksinya sangat banyak sekali.
Ini merupakan sebuah keistimewaan dalam dunia literasi. Orang seperti itu bisa dikatakan sebagai kutu buku tulen dan seorang pembaca ideal. Hari ini bisa saja ada orang yang mempunyai buku banyak. Orang bisa saja hobi mengoleksi buku, bahkan dengan jumlah yang mencengangkan. Namun pertanyaannya adalah apakah orang ini bisa mengidentifikasi seluruh koleksinya? Atau apakah ia sudah membaca keseluruhannya? Jika tidak berarti dia adalah sang penimbun buku. Atau dalam istilah populernya adalah tsundoku, bibliomania atau book hoarder.
Tidak Ada Waktu Kecuali Membaca
Abu Bakr al-Khayyath an-nahwiy, adalah contoh selanjutnya. Dia mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar, di manapun dia berada, hingga dalam perjalanan pun masih sempat membaca. Sampai-sampai pernah suatu kali ia jatuh terperosok pada sebuah lobang jalan sangking asiknya membaca.
Ulama besar, Abu al-Barakat, kakek tokoh besar Ibnu taimiyah juga lebih ‘gila’ lagi. Dia juga orang yang mengerahkan seluruh waktunya untuk terus belajar. Bahkan ketika di kamar mandi pun dia meminta budaknya untuk membacakan keras-keras sebuah buku.
Sebenarnya masih banyak lagi yang lain untuk diceritakan. Namun dua contoh saja saya kira sudah cukup untuk menohok kebiasaan “menimang-nimang” “setan gepeng” kita pada hari ini.
Tidak Lelah Membaca
Ada lagi seorang tokoh besar, Ibnu al-Jauziy, siapa yang belum pernah mendengar nama ini. Dalam sebuah kesempatan dia berkata: Aku akan menceritakan bagaimana aku membaca, Aku adalah orang yang tidak pernah puas membaca. Ketika aku melihat sebuah buku, maka seakan-akan aku sedang melihat gudang harta. Kemudian dia melanjutkan, Aku telah selesai membaca seluruh koleksi buku di sebuah perpustakaan wakaf di madrasah Nidhamiyyah. Jumlahnya memcapai 6000 buku. Lalu karya-karya Abu Hanifah, Al-Humaidy, Abdul Wahhab bin Nashir, Abu Muhammad bin al-Khasyab dan lain sebagainya di lain tempat juga mampu aku baca.
Di zaman baru-baru ini juga banyak tokoh yang ‘seni’ membacanya luar biasa. Tokoh Indonesia, semisal Tan Malaka, Bung Karno, Bung Hatta, Gus Dur dan lain sebagainya adalah di antara orang-orang yang gila membaca. Kita ambil salah satunya saja, Tan Malaka. Dia adalah seorang pembaca sejati. Kemana saja dia pergi buku selalu menyertainya. Suatu saat dalam sebuah perjalanan, dia membawa sekotak peti yang berisi buku-buku. Namun karena khawatir akan keselamatannya, kotak peti tersebut dia lempar ke laut. Apa yang dia katakan setelahnya? Kurang lebih seperti ini, “Selama toko buku masih ada, perpustakaan masih bisa dibentuk, jika perlu kurangi makan dan pakaian”. Ini menunjukkan bahwa Tan Malaka adalah orang yang mementingkan membaca daripada urusan makan dan pakaian.
Penutup
Inilah yang bisa saya paparkan dalam tulisan kali ini tentang membangun peradaban dengan membaca. Generasi ini harus mau membaca jika memang ingin berperadaban. Kebiadaban, kebuasan, keberingasan masyarakat hari ini adalah dampak dari ketidakmembacaan. Tentu, membaca yang seperti apa? Pembacalah yang bisa menyimpulkan.
Sumber bacaan:
Kaifa Aqra`, DR. Thariq Suwaidan.
Jenius Tak Harus Kuliah: Panduan Belajar bagi Siapa pun Anda, Achmad Mufid A.R.