Keadilah merupakan cita-cita setiap insan. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang rela diperlakukan secara tidak adil. Ironisnya, dalam catatan sejarah, ada saja orang yang berlaku tidak adil kepada sesamanya. Ini merupakan anomali yang membagongkan. Bagaimana mungkin orang bisa berbuat lalim dan diskriminatif, sementara dia sendiri tidak mau mengalami yang demikian itu. Biasanya pelaku ini adalah mereka yang memiliki power atau kekuasaan atas yang lain. Segala macam usaha demi melancarkan kebengisan dia lakukan. Salah satunya adalah dengan melakukan suap atau gratifikasi. Tidak sedikit orang _mau dia orang biasa atau biasa di luar, eh… luar biasa_ yang bisa melawan kedahsyatan suap dan gratifikasi. Mencium baunya saja, seseorang akan klepek-klepek teler, apalagi menggenggam dan membawanya pulang. Namun hal ini tidak berlaku bagi raja Najasyi. Dalam tulisan ini saya akan sedikit bercerita tentang Raja Najasyi yang menolak suap demi keadilan.
Kisah Hijrahnya Muslimin ke Habasyah
Pada masa awal-awal dakwah Islam, kaum muslimin mengalami kesulitan yang sangat mendalam. Hingga pada akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk hijrah ke sebuah negeri, yakni Habasyah. Najasyi, Raja habasyah kala itu adalah seorang yang adil, tidak ada seorang pun yang terzalimi olehnya. Inilah alasan baginda Rasul memerintahkan kaum muslimin untuk hijrah ke sana.
Suap dan Gratifikasi Kafir Quraisy kepada Najasyi
Kaum musyrikin merasa tidak senang ketika kaum muhajirin tersebut mendapatkan tempat berlindung bagi diri dan agama mereka. Untuk itulah, mereka mengutus dua orang pilihan, yaitu Amr bin al-Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah. Keduanya membawa titipan hadiah yang menggiurkan dari pemuka Quraisy untuk Najasyi dan para uskupnya.
kedua orang ini mempersembahkan hadiah kepada para uskup terlebih dahulu sambil membekali mereka beberapa alasan yang dapat menyebabkan kaum muslimin dapat terusir dari Habasyah. Setelah para uskup menyetujui untuk mengangkat permintaan keduanya tersebut kepada sang Raja agar mengusir kaum muslimin. Keduanya langsung menghadap kepada sang raja menyerahkan beberapa buah hadiah kepadanya lalu berbicara dengannya.
Keduanya berkata, “wahai baginda Raja! Sesungguhnya sekelompok yang masih bau kencur memasuki negeri baginda sebagai orang asing. Mereka telah meninggalkan agama kaum mereka mereka juga tidak menganut agama baginda, bahkan mereka membawa agama baru yang tidak kami ketahui, demikian juga dengan baginda. Kami di sini adalah sebagai utusan kepada baginda. Diantara orang yang mengutus kami ada yang merupakan pemuka kaum mereka, baik itu orang tua, paman-paman serta keluarga besar suku mereka agar Tuan mengembalikan para pendatang ini kepada mereka. Tentunya, mereka lebih banyak memantau tindak-tanduk para pendatang tersebut lebih mengetahui celah mereka, dan telah menegur mereka dalam hal ini.“
Para Uskup serta merta menimpali, “benar apa yang dikatakan oleh keduanya wahai Baginda Raja! Serahkanlah mereka kepada keduanya agar keduanya membawa mereka pulang ke kaum dan Negeri mereka.“
Keadilan Seorang Penguasa
Akan tetapi an-Najasyi berpandangan bahwa masalah ini perlu ada kejelasan dan perlu mendengarkan dari kedua belah pihak sekaligus. Lalu dia mengutus orang untuk menemui kaum muslimin dan mengundang mereka untuk hadir. Mereka pun hadir, setelah sebelumnya bersepakat akan mengatakan sejujur-jujurnya apapun yang akan terjadi.
An-Najasyi berkata kepada mereka, “apa gerangan agama yang membuat kalian memisahkan diri dari kaum kalian dan tidak membuat kalian masuk ke dalam Agamaku atau agama-agama yang lain?”
Ja’far bin Abi Thalib selaku juru bicara kaum muslimin bertutur, “wahai Baginda Raja! Kami dahulunya adalah kaum jahiliyah menyembah berhala memakan bangkai binatang, melakukan perbuatan keji, memutus tali rahim, suka mengusik Tetangga. Kaum yang kuat diantara kami menindas kaum yang lemah. Demikianlah kondisi kami ketika itu, hingga Allah mengutus kepada kami seorang rasul dari bangsa kami sendiri yang kami ketahui jelas nasab, kejujuran amanat serta kesucian dirinya. Lalu dia mengajak kami untuk mentauhidkan dan menyembah Allah serta agar kami tidak lagi menyembah batu dan berhala sesembahan oleh nenek moyang kami. Beliau memerintahkan kami agar jujur dalam bicara, melaksanakan amanat, menyambung tali rahim, berbuat baik kepada tetangga dan menghindari pertumpahan darah.” Dan banyak alasan-alasan lain Ja’far bin Abi Thalib tentang ajaran-ajaran nabi besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
An-Najasyi bertanya, “apakah ada bukti yang dibawanya dari Allah bersama kalian?”
Ja’far menjawab, “Ya! Ada.”
An-Najasyi bertanya lagi, “bacakan di hadapanku!”
Lalu dia membacakan permulaan Surah Maryam.
Manakala mendengar lantunan ayat tersebut, “demi Allah!” Sang raja pun menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Demikian pula dengan para uskupnya hingga air mata mereka membasahi lembaran-lembaran kitab suci yang berada di tangan mereka.
Kemudian An-Najasyi berkata kepada mereka, “sesungguhnya ini dan apa yang dibawa oleh Raisa adalah bersumber dari satu lentera.”
Raja Najasyi Menolak Suap dan Gratifikasi
Lalu kepada kedua utusan Quraisy dia berkata, “Pergilah kalian berdua, demi Allah, sekali-kali tidak akan aku serahkan mereka kepada kalian dan hal itu tidak akan terjadi.”
Keduanya keluar namun Amr bin al-Ash sempat berkata kepada Abdullah bin rabiah, “demi Allah! Sungguh akan Aku datangi lagi dia besok pagi untuk membicarakan perihal mereka dan akan aku satroni mereka sebagaimana aku menyatroni ladang mereka.”
Abdullah bin Rabiah berkata, “Jangan kamu lakukan itu! Sesungguhnya mereka itu masih memiliki hubungan tadi rahim dengan kita sekalipun mereka menyelisihi kita.”
Akan tetapi Amr tetap bersikeras dengan tekadnya. benar saja, keesokan harinya dia mendatangi an-Najasyi dan berkata kepadanya, “wahai Baginda Raja! Sesungguhnya mereka itu mengatakan suatu perkataan yang sangat serius terhadap Isa bin Maryam.”
Lalu an-Najasyi mengirim utusan kepada kaum muslimin untuk mempertanyakan perihal pendapat mereka tentang Isa al-Masih tersebut. Mereka sempat kaget menyikapi hal itu, namun akhirnya tetap bersepakat untuk berkata dengan sejujur-jujurnya apapun yang terjadi.
Ketika mereka sudah berada di hadapan sang Raja dan dia bertanya kepada mereka tentang hal itu, Ja’far berkata kepadanya, “kami mengatakan tentangnya sebagaimana yang sampai kepada kami oleh Nabi kami, dia adalah hamba Allah, rasulNya dan kalimatNya kepada Maryam, si perawan suci.”
An-Najasyi kemudian memungut sebatang ranting pohon dari tanah Seraya berujar, “demi Allah! Apa yang kamu ungkapkan itu tidak melangkahi Isa bin Maryam meski seukuran ranting ini.”
Mendengar itu, para Uskup mendengus. Raja najasyi segera menimpali dengusan para uskup, “demi Allah! Sekalipun kalian mendengus.”
Dia kemudian berkata kepada kaum muslimin, “Pergilah! Kalian akan aman di Negeriku. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan mendapatkan sanksi. Aku tidak ingin memiliki gunung emas, jika dengan cara harus menyakiti salah seorang di Antara Kalian.”
Kemudian an-Najasyi berkata kepada para pejabat istana, “kembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada keduanya, karena aku tidak memerlukannya. Demi Allah! Tatkala Allah mengembalikan kerajaanku ini kepadaku, dia tidak pernah mengambil suap dariku, sehingga aku merasa patut mengambil suap dengan memanfaatkan kekuasaanku dan ketentuanku yang dipatuhi oleh manusia, aku pun akan mematuhinya.”
Penutup
Dari penggalan kisah ini dapat kita ambil sebuah pelajaran mahal melalui sosok pemimpin dan penguasa yang tahan pada godaan suap atau gratifikasi. Raja najasyi telah mengambil kebijakan yang tepat dalam melaksanakan kewajibannya sebagai pengayom masyarakat. Dia tidak mau menerima suap atau gratifikasi yang merugikan bahkan membahayakan warganya. Raja Najasyi menolak suap demi keadilan. Bagaimana dengan kenyataan hari ini? Silakan jawab melalui nurani masing-masing!
Sumber bacaan:
Ar-Rahiq al-Makhtum, Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfury