Dalam tulisan sebelumnya, kita sudah mempelajari definisi akal serta fungsinya secara singkat. Kali ini saya akan membahas pernyataan-pernyataan atau pendapat-pendapat beberapa kalangan dan tokoh terkait keutamaan akal kecerdasan.

Muslim yang baik adalah yang beragama dengan akalnya

Keutamaan Akal Kecerdasan

Pada suatu ketika ada orang yang bertanya, “Apa itu berkumpulnya akal (pikiran)? Orang itu pun menjawab: apa yang kamu ketahui secara komprehensif, maka jelaskanlah. Dan yang tidak kau ketahui dengan sempurna, maka tidak bisa dijelaskan”.

Allah ta’ala memang Maha Besar, bagaimana tidak, Ia telah menciptakan akal dengan sebegitu rumitnya. Akal dengan segala daya potensinya mampu mengumpulkan informasi-informasi serta melakukan sintesa secara terpadu. Inilah yang kemudian menjadikan akal mampu untuk mencari solusi, berpikir kritis, dan analitis. Namun kemampuan seperti ini hanya akan ada pada orang yang mau melatih dan mengembangkan akal yang ia miliki.

Jauhi Orang Pandir

Ada sebuah pepatah: “Orang cerdas akan lebih bahagia ketika bisa berkumpul dengan orang-orang yang cerdas pula meskipun hidup susah. Daripada hidup senang, tetapi bersama orang-orang bodoh.”

Seorang yang memiliki akal sehat tentu akan bahagia jika berkumpul dengan orang-orang yang berakal sehat pula. Gagasan, ide, dan uneg-uneg jika bertemu dengan orang yang tepat maka akan menemukan jalan keluar. Inilah kebahagiaan sejati yang tidak ada bandingannya. Benar bahwa keadaan sulit sekalipun, jika bersama orang yang sepemikiran secara cerdas, tentu kesulitan itu tidak ada rasanya.

Lukman berkata: “Jangan bergaul dengan orang pandir, meskipun ia berparas rupawan. Lihatlah pedang itu! Meskipun indah menawan, namun sangat membahayakan”. Banyak sekali orang kecewa dan menyesal setelah bergaul dengan “kepala-kepala kosong”. Mungkin awalnya tidak terasa. tetapi lama-kelamaan, mau tidak mau akan berdampak pula pada si “cerdas”. Orang-orang ini biasanya hanya membuang-buang waktu dan biaya. Betapa banyaknya gaya hidup semu dan kesenangan material yang menipu itu banyak mengorbankan orang-orang pandir. maka, bergaul dengan orang-orang seperti itu sangat berbahaya.

Al-Jahidh berkata: “Jangan pernah duduk (berdiskusi) dengan orang-orang tolol. Karena ketololan mereka akan menyusahkanmu. Yang tidak kamu rasakan ketika berdiskusi dengan orang-orang cerdas. Teruslah berbenah, sesungguhnya ketololan itu secara bawaan lebih sulit pulihnya”.

Al-Mutanabbi berkata:


ومن البليّة عذل من لا يرعوي … عن جهله وخطاب من لا يفهم
“Termasuk bencana adalah mencela orang yang berhenti dari kebodohannya dan berbicara dengan orang yang tidak mau mengerti”.

Ada seseorang yang bertanya kepada seorang filsuf. Siapakah manusia yang paling nyaman hidupnya? Filsuf ini menjawab: Dia yang merasa cukup dengan dunianya dan tidak menganggap penting urusan akheratnya.

Berteman dengan Orang Cerdas

Konon Ibn al-Muqaffa’ dan al-Khalil senang berkumpul berdua. Pernah mereka berdiskusi selama tiga hari. Lalu ada sebuah pertanyaan kepada Ibn al-Muqaffa’. Menurutmu dia itu bagaimana? Ibn al-Muqaffa’ menjawab: Dia adalah seorang yang akalnya melebihi ilmunya. Kemudian pertanyaan yang sama al-Khalil. Al-Khalil menjawab: Dia adalah seorang yang ilmunya melebihi akalnya.

Sebagian ulama berkata: Keduanya benar. Al-Khalil meninggal secara wajar dalam keadaan tertentu, ia adalah makhluk Allah yang paling zuhud. Sementara Ibn al-Muqaffa’ tidak menggunakan akalnya hingga akhirnya ia mati mengenaskan.

Penggalan kisah ini menunjukkan betapa orang yang berakal cerdas akan lebih beruntung daripada orang yang tidak menggunakan akal pikirannya. Maka benar belaka bahwa seseorang yang telah tertipu oleh akalnya, maka jangan meminta bantuan padanya.

Suatu ketika akal meminta izin kepada hati dan hati pun menolaknya. Akalpun berkata: Sesungguhnya engkau yang membutuhkanku, dan aku tidak butuh kamu. Kemudian dengan bangga akal berkata kepada hati. Wahai hati! Berhentilah! Engkau tidak bisa apa-apa selama aku tidak bersamamu.