Kedermawanan Nabi yang patut kita teladani
Dalam hadis Shahihain dari Ibn Abbas berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadan ketika Jibril menemuinya dalam rangka mendaraskan Al-Qur`an kepadanya. Dan ketika Jibril menemuinya di suatu malam dalam rangka mendaraskan Al-Qur`an kepadanya, Nabi lebih dermawan lagi daripada angin yang berhembus.”
Kedermawanan artinya kelapangan hati dan suka memberi. Allah memberikan karakter orang ini dengan kata al-jud. Kita yakin bahwa Allah adalah Zat yang paling dan sangat Dermawan (Ajwadul ajwadin). Bentuk kedermawanan Allah adalah dengan melipatgandakan pahala di waktu tertentu seperti bulan Ramadan. Sebagaimana keterangan QS. Al-Baqarah ayat 186,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ
186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Ketika Allah menganugerahkan kepada baginda Nabi dan memuliakannya dengan kesempurnaan akhlak sebagaimana dalam hadis Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak.” Imam Malik menjelaskan hadis ini dengan jelas di kitab al-Muwaththa`. Maka dari hadis ini dapat kita pahami makna tersiratnya berarti Rasulullah adalah orang yang paling dermawan.
Kedermawanan Rasul meliputi segala bentuk kedermawanan, mulai dari mendermakan ilmu, harta, dan jiwa dalam berjuang di jalan Allah untuk menampakkan cahaya Islam dan memandu seluruh umat manusia. Beliau senantiasan berusaha menyampaikan kebermanfataan kepada orang-orang dengan cara apapun, termasuk memberi makan orang yang kelaparan, menasehati orang yang belum tahu, turut andil dan terjun langsung dalam menyelesaikan urusan-urusan umat, dan menanggung beban hidup mereka.
Tidak sekalipun baginda Nabi meninggalkan kebiasaan-kebiasaan mulia itu sejak beliau mulai bertumbuh. Oleh sebab itu, Khadijah berkata di permulaan Nabi diutus sebagai Nabi dan Rasul: “Demi Allah, semoga Allah tak akan pernah menghinakan engkau selamanya. Sebab engkaulah sang penyambung kekerabatan, memuliakan tamu, menanggung semua beban atau urusan, menafkahi orang yang tak punya, dan meolong orang yang terkena musibah.” Hadis riwayat Imam Bukhari.
Dan akhlak kemuliaan yang sudah saya jelaskan di atas semakin bertambah dan berlipatganda saat beliau menjadi seorang utusan. Dalam hadis Shahihain dari Anas berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah paling baik, paling berani, dan paling dermawan di antara manusia yang lain.”
Dalam hadis sahihnya Imam Muslim ada sebuah riwayat sebagai berikut: “Tidaklah Nabi diminta sesuatu keculai beliau memberikan sesuatu itu. Suatu saat ada seorang lelaki yang mendatangi Nabi, lalu Nabi memberikan seekor domba yang berada di antara dua gunung kepada lelaki itu. Lalu kembalilah si lelaki menuju kaumnya dan berkata: Wahai kaumku! Masuklah Islam kalian semua, karena Muhammad adalah orang yang mendapatkan suatau anugerah yang di mana dia tidak takut pada kemiskinan (baca: dermawan).”
Dalam riwayat Imam Muslim yang lain ada keterangan sebagai berikut: “Bahwasanya ada seorang lelaki yang meminta baginda Nabi seekor domba di antara dua gunung. Lalu Nabi memberikannya kepada lelaki itu. Kemudian dia menemui kaumnya dan berkata: Wahai kaumku! Masuklah Islam kalian semua! Karena sesungguhnya Muhammad telah mendapatkan anugerah yang di situ ia tidak takut miskin.” Anas berkata: “Sungguh apabila ada seseorang meyerahkan apa yang ia inginkan kecuali dunia, maka ia tidak akan memasuk waktu petang hingga Islam lebih ia cintai daripada dunia dan seisinya.”
Ada lagi riwayat dari Shafwan ibn Umayah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberiku sesuatu, padahal beliau adalah orang yang paling aku benci. Rasulullah selalu memberiku sesuatu hingga akhirnya jadilah beliau orang yang paling aku cintai. Ibnu Syihab bertanya: Rasulullah memberi Shafwan ibn Umayyah 100 ekor onta di perang Hunain dan memberinya lagi dan lagi (dalam jumlah yang sama yakni 100 ekor).”
Dalam hadis Shahihain dari Jubair ibn Muth’im, “Sunnguh orang-orang A’rabi mengikuti Nabi saat kepulangannya dari perang Hunain, meminta beliau untuk membagi (rampasan perang) di antara mereka. Kemudian Nabi berkata: Seandainya aku memiliki onta sebanyak ini, maka aku akan membagikannya di antara kalian hingga kalian tidak menganggapku sebagai orang kikir, pembohong, dan penakut.”
Dari Jabir berkata: “Tidaklah Nabi dimintai sesuatu dengan mengatakan tidak. Nabi berkata kepada Jabir: Seandainya telah datang kepada kita harta dari Bahrain, maka sungguh akan aku berikan kepadamu bagian ini, ini, dan ini (beliau sambil menunjukkan semua kedua tangannya).”
Dari Sahl ibn Sa’d, “Nabi menerima hadiah baju sejenis jubah, kemudian beliau memakainya sebab membutuhkannya. Lalu ada orang datang dan memintanya dan Nabi pun memberikannya. Orang-orang mencaci lelaki itu dan berkata: Beliau membutuhkan jubah itu! Engkau tahu bahwa Nabi tak pernah menolak permintaan seseorang! Lelaki ini menjawab: Saya meminta baju ini untuk ku jadikan kain kafanku. Maka jadilah jubah itu sebagai kafannya.” (HR. Bukhari)
Seluruh kedermawanan Nabi dipersembahkan hanya untuk Allah dan dalam rangka menggapai ridaNya. Beliau memberikan harta-hartanya kepada orang fakir, orang yang membutuhkan, juga untuk yang berjuang fi sabilillah, atau untuk meluluhkan hati orang yang baru masuk Islam supaya keislamannya kokoh.
Nabi lebih mengutamakan orang lain daripada diri sendiri, keluarga, dan putra-putrinya. Sebuah kedermawanan yang para raja dan penguasa tidak mampu menandinginya. Beliau hidup sebagaimana hidupnya fakir miskin. Hingga pernah selama dua bulan api tidak menyala sama sekali di rumah beliau. Ketika lapar beliau seringkali mengganjal perutnya dengan batu.
Pernah sekali didatangkan seorang tawanan kepada Nabi, kemudian fathimah mengeluh tentang urusan rumahtangganya, dan ia meminta seorang pembantu untuk membantunya. Nabi pun memerintahkan Fathimah untuk membaca tasbih, takbir, dan hamdalah ketika hendak tidur. Dan beliau bersabda: “Aku tidak akan memberikanmu sesuatu sementara aku membiarkan para Ahlu Shuffah melipat perut mereka dalam keadaan lapar.”
Kedermawanan Rasulullah di bulan Ramadan melebihi kedermawanan beliau di bulan-bulan lainnya, sebagaimana Allah juga menunjukkan kemurahanNya yang berlipatganda di bulan ini. Hal ini karena Allah telah menyematkan karakter mulia kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam sejak sebelum mengangkatnya sebagai utusan. Hal ini sudah dijelaskan secara detail dalam keterangan sebelumnya.
Kedermawanan yang berlipatganda di bulan Ramadan ini dikarenakan kedekatan dan pertemuan intensif Nabi dengan Jibril, dialah malaikat yang paling mulia, yang mengajarkan Al-Qur`an, dan mengajak pada perbuatan dan akhlak yang terpuji. Seluruh isi Al-Qur`an adalah karakter kepribadian Nabi. Segala sesuatu yang beliau ridai, diridai juga oleh Al-Qur`an. Pun sesuatu yang beliau benci, maka Al-Qur`an membencinya. Nabi senantiasa bergegas dalam mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan Al-Qur`an. Inilah yang menjadikan Nabi sangat dermawan lebih-lebih di bulan Ramadan.
Ada seorang penyair memuji raja yang memiliki sifat kedermawanan. Lalu sang raja memberinya hadiah yang sangat berharga. Keluarlah sang penyair tadi dengan membawa hadiah dan membagi-bagikannya kepada orang banyak seraya membacakan syair:
وَلَمْ أَدْرِي أَنَّ الْجُودَ مِنْ كَفِّهِ يُعْدي | لَمَسْتُ بِكَفِّي كَفَّهُ أَبْتَغِي الْغِنٰى |
“Telapak tanganku meyentuh telapak tangannya dengan maksud untuk mencari kekayaah, aku tidak jua tahu bahwa kedermawanan telapak tangannya sungguh melampaui batas.”
Ketika syair itu sampai pada sang raja, maka raja memberikan hadiah yang berlipat-lipat kepadanya.
Ada lagi untaian syair yang bertemakan pujian terhadap orang-orang dermawan.
ثَناها لِقَبْضٍ لَمْ تُطِعْهُ أنامِلُهْ | تَعَوَّدَ بَسْطَ الكَفِّ حَتَّى لَوَ انَّهُ | |
كَأنَّكَ تُعْطيهِ الذي أنْتَ سائِلُهْ | تَراهُ إذا ما جِئْتَهُ مُتَهَلِّلًا | |
لَجادَ بِها فَلْيَتَّقِ الله سائِلُهْ | وَلَوْ لَمْ يَكُنْ في كَفِّهِ غَيْرُ رُوحِهِ | |
فَلُجَّتُهُ المَعْروفُ والجودُ ساحِلُهْ | هُوَ البَحْرُ مِن أيِّ النَّواحي أتَيْتَهُ |
“Ia terbiasa membentangkan telapak tangannya, hingga jemarinya tak mampu lagi untuk menggenggam
Engkau tahu ketika engkau mendatanginya dengan riang gembira, seolah-olah engkau memberikan apa yang engkau pinta
Andai saja tak ada apa pun di tangannya selain jiwanya, Niscaya ia akan memberikannya maka takutlah kepada Allah wahai sang peminta-minta
Dia sang samudra dari sisi manapun engkau mendatanginya, Kedalamannya adalah kemurahan dan pantainya adalah kedermawanan.”
Kemaslahatan atau faedah berderma di bulan Ramadan
Ada banyak sekali kemaslahatan berlipatgandanya kedermawanan Rasulullah di bulan Ramadan.
Pertama, mulianya waktu dan berlipatgandanya pahala atas jerih payah di dalamnya (bulan Ramadan).
Kedua, dengan menolong (memberi) orang-orang yang berpuasa, bangun malam, dan berzikir. Maka sang penolong juga akan mendapatkan pahala yang mereka kerjakan. Sebagaimana orang yang mempersiapkan keperluan perang sang pejuang dan menggantikan perannya di keluarganya maka ia sejatinya juga ikut berperang.
Ada sebuah riwayat hadis dari Zaid ibn Khalid dari Nabi bersabda: “Barangsiapa yang memberi makan berbuka kepada seorang yang berpuasa, maka baginya pahala orang yang berpuasa tanpa menguranginya sedikitpun.” Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan lain-lain.
Ketiga, Ramadan adalah bulan di mana Allah menggelontorkan kasih sayang, ampunan, dan pembebasan dari api neraka kepada hamba-hambaNya secara besar-besaran, lebih utamanya di malam kemuliaan (lailatul qadar). Sungguh Allah mengasihi hamba-hambaNya yang penuh kasih sayang sebagaimana sabda Nabi berikut ini,
إنَّما يَرْحَمُ اللهُ مِن عباده الرُّحماءَ
“Sesungguhnya Allah menyayangi hamba-hambaNya yang penyayang.”
Oleh sebab itu, barang siapa yang berderma kepada orang lain di bulan ini, maka Allah akan memberikan kemurahan kasih sayang dan ampunan kepadanya. Membalas kebaikannya dengan balasan yang berlipat ganda.
Keempat, perpaduan antara puasa dan sedekah merupakan satu penyebab seseorang masuk surga. Nabi bersabda: “Sungguh ada beberapa bilik surga yang bagian dalamnya tampak dari luar dan bagian luarnya tampak dari dalam. Para sahabat bertanya: Untuk siapa itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Bagi siapa saja yang memperindah ucapannya, memberi makanan, senantiasa berpuasa, dan bangun malam ketika orang lain tidur semua.”
Kebiasaan-kebiasaan di atas ada di bulan Ramadan. Puasa, bangun malam, bersedekah dan bertutur indah semuanya berpadu harmoni pada seorang mukmin di bulan suci ini yang mana ia dilarang untuk berkata kotor dan berbuat sia-sia. Inilah amalan yang menghantarkan seorang mukmin sampai di Sisi Allah jalla wa ‘ala.
Dari Abu Hurairah dari Nabi bertanya: “Siapa di antara kalian yang pagi ini berpuasa? Abu Bakar menjawab: Saya. Beliau bertanya lagi: Siapa yang hari ini memberi makan orang miskin? Abu Bakar menjawab: Saya. Nabi bertanya lagi: Siapa yang bersedekah? Abu Bakar menjawab: Saya. Nabi berkata: Tidaklah yang demikian itu terpadu pada seseorang kecuali ia masuk surga.” HR. Muslim.
Kelima, perpaduan antara puasa dan sedekah sangat efektif untuk mengapuskan dosa-dosa dan menyelamatkan diri dari neraka. Lebih-lebih jika ditambah dengan salat malam, maka akan semakin manjur.
Keenam, tidak dipungkiri bahwa dalam menjalankan ibadah puasa pasti ada cacat dan kekurangannya. Dan puasa yang bisa menghapuskan dosa adalah yang dibarengi dengan penjagaan diri yang membutuhkan usaha keras dan tentu terasa berat. Sebab jika kita amati, memang banyak orang berpuasa namun tidak ada penjagaan yang sebagaimana mestinya. Maka untuk menutupi kekurangan atau cacat dalam puasa, seseorang harus bersedekah. Dan di bulan Ramadan ini ada zakat fitrah yang tujuannya adalah untuk membersihkan seseorang dari kesia-siaan dan ucapan kotor.
Ketujuh, orang yang berpuasa adalah orang yang meninggalkan makanan dan minumannya karena Allah ta’ala. Ketika ada orang yang menolong orang-orang berpuasa dengan memberikan makan dan minum, maka levelnya sama seperti orang yang meninggalkan syahwat karena Allah. Ia lebih mementingkan dan menolong orang lain daripada memenuhi keinginannya. Oleh sebab itu, Allah mensyariatkan _(sunnah)_ kaum muslimin untuk menghidangkan menu berbuka kepada orang yang berpuasa atau mengajak mereka berbuka bersama. Kenapa, alasannya adalah karena pada saat berbuka, makanan adalah idaman semua orang yang berpuasa. Maka dengan menyenangkan orang lain, yakni dengan memberikan makan. Seseorang akan bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat makan dan minum yang sebelumnya tercegah. Sebab seseorang akan mengetahui kadar kenikmatan setelah kenikmatan itu tidak ada.
Sebagaian salaf ditanya: “Kenapa ada syariat puasa?” Dia menjawab: “Supaya orang kaya merasakan lapar sehingga ia tidak lupa bahwa ternyata ada orang yang kelaparan.” Mayoritas salaf tidak mau berbuka sebelum ada orang lain yang bisa mereka ajak berbuka bersama. Bahkan mereka rela menanggung lapar demi memberikan jatah berbukanya kepada orang lain. Konon Abdullah ibn Umar berpuasa dan tidak akan berbuka kecuali bersama orang-orang miskin. Apabila keluarganya melarang mereka berbuka dengannya, maka ia tidak mau makan malam di malam itu.
Ada seorang peminta-minta yang datang kepada Imam Ahmad. Lalu Imam Ahmad memberinya dua potong roti yang sebenarnya ia persiapkan sebagai menu berbukanya. Akhirnya beliau tetap dalam keadaan lapar dan tidak makan apa-apa.
Pernah suatu ketika al-Hasan menghidangkan makanan kepada teman-temannya sementara ia dalam keadaan berpuasa sunnah. Lalu ia duduk mengipasi mereka sementara mereka menikmati makanannya.
Ibn al-Mubarok juga pernah menghidangkan berbagai macam manisan dan lain-lain kepada teman-temannya dalam perjalanan sementara ia sedang berpuasa.
Itulah jiwa-jiwa yang layak mendapatkan salam kedamaian dan kasih sayang dari Allah subhanahu wa ta’ala. Kini tinggallah ceritanya saja. Hari ini, kira-kira lebih banyak mana? Orang yang mendahulukan orang lain atau mementingkan diri sendiri?
لَيْسَ الصَّحِيْحُ إِذَا مَشَى كَالْمُعْقَدِ | لَا تَعْرِضَنَّ لِذِكْرِنَا فِيْ ذِكْرِهِمْ |
“Sungguh jangan engkau lalai untuk mengingatkan kami dalam mengingat mereka, Tidaklah benar jika ia berjalan seperti orang cacat”
Sumber bacaan:
Lathoiful Ma’arif, Imam Ibn Rajab al-Hanbaliy
Wadhaif Syahri Ramadlan, Muhammad Sulaiman al-Muhana