Pernahkah kita melihat orang yang berdoa? Mungkin ada menunduk khusyu’ dan ada pula yang mendongak penuh asa. Manakah yang benar? Simak ulasan saya berikut ini.
sumber gambar: https://bit.ly/3wJRfmN
Manusia adalah salah satu dari dua makhluk ciptaan Allah ta’ala yang mendapatkan mandat dari langit untuk beribadah kepada-Nya. Beribadah merupakan harga mati yang harus dijalankan oleh mereka. Bagi sesiapa yang menentang dan merasa tidak perlu menghamba kepada-Nya, maka dia tergolong ke dalam orang-orang yang melampaui batas. Ibadah sekaligus menjadi semacam peringatan atau penanda, yakni bahwa manusia itu sungguh lemah di hadapan-Nya. Oleh karena itu dalam menjalankan kewajiban sebagai hamba, seseorang juga diperintahkan untuk memohon dan berdo’a hanya kepada-Nya.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam al-Tirmidziy dari sahabat Anas radliyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa do’a merupakan otak (inti) ibadah. Artinya adalah seperti kita sadari bersama bahwa setiap hamba tentunya sering mengalami kealpaan dari memantabkan diri dan menghadirkan hati untuk selalu ingat kepada-Nya dalam segala aktifitas sehari-hari. Bahkan dalam beribadahpun seseorang sering lalai, namun hal ini tidak terjadi pada saat berdo’a. Sebab di saat berdo’a seseorang merasa bahwa ilah sedang berada di dekatnya, dalam kondisi inilah seseorang benar-benar tunduk terpaku dan terhanyut dalam lantunan do’a-do’a yang sedang dia rapalkan. Inilah alasan kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan demikian.
Namun tahukah anda? Bahwa dalam berdo’a seseorang dituntut untuk memenuhi adab-adab yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pewarisnya? Tentu para pembaca budiman telah mengetahuinya sehingga di tulisan ini saya tidak berkeinginan menjlentrehkan adab-adab tersebut secara rinci dan ndakik-ndakik. Hanya saja ada satu hal yang perlu saya bahas di sini, yaitu tentang bagaimana sih seandainya kita mengarahkan pandangan mata ke atas atau ke arah langit pada saat berdo’a, bermunajat atau shalat? Bagaimana syariat menyikapi tingkah laku seperti ini?
Hal ini perlu saya sampaikan supaya masyarakat kita mengetahui dasar hukumnya melalui pendapat-pendapat para ulama yang ekspert di bidangnya. Bukan ulama’ kaleng-kaleng, kata masyarakat Batak. Sehingga tidak ada lagi syakwasangka atau kegamangan jika kebetulan di kemudian hari mendengar keterangan-keterangan yang kurang jelas dari mana sumbernya, atau menyaksikan tindakan orang lain yang tidak sama dengan yang telah dipahami dan dijalani selama ini.
Sahabat Jabir ibn Samurah radliyallahu ‘anhu mengatakan dalam riwayat Muslim:
وَعَنْ جَابِرِ بنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيَنْتَهِيَنَّ قَوْمٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاةِ أَوْ لا تَرْجِعُ إِلَيْهِمْ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“hendaknya suatu kaum menghentikan dari mengarahkan pandangan mereka ke atas (langit) dalam keadaan shalat atau pandangan (mata) mereka tidak akan bisa kembali lagi”.
Al-Imam al-Qadli al-Husain ibn Muhammad al-Maghribiy dalam syarahnya terhadap kitab Bulughul maram yang berjudul al-Badr al-Tamam menjelaskan bahwa perbuatan seperti ini dikategorikan haram dan membatalkan shalat berdasarkan pendapat Ibn hazm. Karena secara tekstual hadits tersebut berbentuk larangan. Berbeda dengan pendapat tersebut, pengarang Fathul Muin Syaikh Zainuddin al-Malibariy dan juga dalam syarahnya I’anat al-Thalibin Syekh Abu Bahar ibn Muhammad Syatha al-Dimyathiy menegaskan bahwa hal demikian itu hanya sebatas makruh saja. Begitu juga dengan ulama Syafi’iyyah yang lain.
(قوله: ونظر نحو سماء) أي وكره نظره إلى نحو السماء، ولو بدون رفع رأسه، وعكسه وهو رفع رأسه بدون نظر كذلك على ما بحثه الشوبري، فيشمل الأعمى كما قاله البرماوي (إعانة الطالبين ، ج1 ص223 المكتبة الشاملة)
“memandang ke atas berhukum makruh, meskipun tanpa mendongakkan kepala, begitu juga behukum makruh saat mendongakkan kepala ke atas meskipun pandangannya tidak. Dan termasuk di sini adalah orang buta, sebagaimana yang telah dikatakan oleh al-Barmawiy”. (I’anat al-Thalibin juz 1 halaman 223, al-maktabah al-syamilah).
(قُلْت يُكْرَهُ) لِلْمُصَلِّي …. إلى أن قال وَرَفْعُ بَصَرِهِ إلَى السَّمَاءِ) لِخَبَرِ الْبُخَارِيِّ «مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ» (تحفة المحتاج بشرح المنهاج، ج2 ص161 المكتبة الشاملة)
“dimakruhkan bagi mushalli (orang yang mendirikan shalat) mengangkat pandangan mata ke atas berdasar hadits Imam Bukhari: pikiran apa yang merasuki suatu kaum sehingga mereka mengarahkan mata mereka ke atas, ucapan beliau meninggi sampai beliau bersabda: hendaklah mereka menyudahinya atau pandangan mereka akan hilang”. (tuhfat al-muhtaj bi syarh al-minhaj, juz 2 halaman 161, al-maktabah al-syamilah).
Dari keterangan penjelasan hadits dan kitab fikih di atas bisa kita pahami bahwa larangan mengarahkan pandangan ke arah langit atau mendongakkan kepala ke atas di saat melaksanakan shalat terbagi ke dalam dua pendapat. Pertama, berhukum haram seperti pendapat Ibn Hazm. Dan kedua, berhukum makruh sebagaimana pendapat jumhur ulama Syafi’iyyah.
Kemudian pembahasan berlanjut ke sebuah pertanyaan, lantas bagaimana jika hal itu terjadi di lain shalat? Apakah masih haram atau makruh? Dalam hal ini Qadli Iyadl menjelaskan: dalam hal selain shalat, yaitu do’a, para ulama berbeda pendapat, ada yang memakruhkan dan ada yang membolehkan. Ulama yang membolehkan (jawaz) mendasarkannya pada sebuah pandangan bahwa langit merupakan qiblatnya do’a sebagaimana ka’bah sebagai qiblatnya shalat. Maka mengarahkan mata ke atas saat berdoa tidak dimakruhkan sebagaimana hukum bolehnya mengangkat tangan pada saat berdo’a (al-Badr al-Tamam Juz 2 H. 386).
Bahkan Hujjatul Islama Imam al-Ghazaliy menegaskan dalam ihya’nya bahwa mengarahkan pandangan dan kepala ke atas berhukum sunnah pada saat berdo’a setelah selesai wudlu (juz 1 halaman 134, al-maktabah al-syamilah).
Adapun ulama yang memakruhkan mendongakkan kepala ke atas saat berdo’a adalah berlandaskan pada hadits-hadits yang telah saya sebutkan di atas. Selain itu juga ada sebagian ulama yang bahkan mengharamkan hal tersebut secara muthlak, baik dalam keadaan shalat maupun di luar shalat. Namun pendapat ini jarang sekali yang mengikutinya.
Kesimpulan yang bisa kita tarik dari pendapat-pendapat tersebut adalah berakar dari cara pandang mereka dalam mengkontekskan nash-nash tersebut ke dalam etika (adab) bersama sang ilah. Bagaimana kemudian seseorang menganggap hal yang demikian itu sebagai sesuatu yang pantas pada satu kondisi dan kurang pantas pada kondisi lain. Tentu memutuskan pantas dan tidak pantas ini, mereka sudah melalui penelusuran dan pengamatan yang mendalam, tidak bisa hanya dengan arahan hawa nafsu belaka.
Dan mungkin orang yang mengharamkan secara muthlak, menganggap perbuatan tersebut sebagai ketidak sopanan, kelancangan, dan pembangkangan seorang hamba sehingga dia merasa tidak berhak untuk berani melakukannya dalam kondisi apapun. Ini terjadi pada seorang tokoh sufi Atha’ al-Sulamiy yang selama empat puluh tahun tidak pernah menengokkan kepala ke atas karena takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Apakah hal ini bertentangan dengan syari’at? Ternyata tidak. Mereka meyakini hal ini berdasarkan sumber yang jelas. Meskipun pandangan ini terkesan ekstrim, namun patut kita hargai.
Di sini saya ingin tegaskan bahwa pada intinya berdo’a adalah permohonan dari seorang hamba yang sangat lemah dan hina-dina. Sebagai seorang yang tidak punya apa-apa, seorang hamba harus menunjukkan segala kekurangannya di hadapan lingkaran kuasa Ilahiyah melalui penghayatan batin dengan bersikap khusyu’, khudlu’, dan tadlarru’ apapun itu gesture kepala atau mata, apakah dengan menunduk atau mendongak sebagaimana para penari sekte sufi Jalaluddin el-rumiy.
Dus, perbedaan adalah susuatu yang niscaya yang akan selalu kita jumpai dalam gelanggang kehidupan bermasyarakat. Menolak perbedaan sama saja menolak kehendak dan takdir Tuhan. Sebab Tuhan telah menjadikan manusia ke dalam berbagai macam suku, etnis, dan golongan yang berbeda-beda.
Yang terpenting bagi kita adalah tetap beribadah kepada-Nya dengan sesuai tuntunan-tuntunan dan adab-adab yang telah diajarkan oleh para pendahulu. Adapun jika terdapat perbedaan itu sekali lagi itu karena setiap kepala mempunyai gagasan-gagasan yang tak sama meskipun berangkat dari sumber yang sama.
Akhirul kalam, mari kita berdo’a dengan penuh cinta.