Tidak banyak orang yang memperingati Hari Buku Nasional di hari ini. Bahkan hanya sekedar status WA, twibbon, poster dan sejenisnya tidak muncul di layar ponsel cerdas. Tidak seperti halnya peringatan-peringatan lainnya, semisal HUT kemerdekaan, Hari Pahlawan, Sumpah Jomblo, eh… Sumpah pemuda, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat kita belum merasakan pentingnya sebuah buku. Bahkan saya agak menaruh curiga kalau jangan-jangan kita tidak tahu bahwa 17 Mei adalah Hari Buku Nasional (HARBUKNAS).
Saya sengaja membuat atau memposting tulisan ini di tanggal 18 atau sehari setelahnya untuk mengecek ombak seberapa antusias masyarakat kita dalam menyongsong hari penting ini. Ternyata betul bahwa banyak dari kita yang melewatkannya begitu saja, atau bahkan tidak tahu sama sekali. Mungkin saja ini adalah kesalahan pihak pemangku kebijakan yang kurang mensosialisasikannya. Tetapi jika melihat fakta bahwa masyarakat Indonesia adalah pengguna ponsel pintar terbesar, yang konon jumlah penduduk dan ponsel lebih banyak ponselnya. Artinya masyarakat kita selalu memantengi digital setiap saat. Inilah fenomena yang tidak diragukan dan sangat ironis. Jadi menurut saya pemerintah dan pihak yang terkait sudah di jalur yang benar, hanya masyarakatnya saja yang kurang ajar.
Harbuknas diperingati setahun sekali bertujuan untuk membumikan budaya literasi di tengah masyarakat Indonesia. Mengutip laman Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Pangkal Pinang pada kamis (16/5/2024) Hari Buku Nasional Indonesia (Harbuknas) merupakan peringatan tahunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat terhadap budaya membaca buku.
Harbuknas diperingati setiap tahun pada tanggal 17 Mei, hari berdirinya Perpustakaan Nasional RI pada tahun 1980. Harbuknas pertama kali diperingati pada tahun 2002 oleh Abdul Malik Fadjar, mantan menteri pendidikan pada kabinet Gotong Royong. Jadi jika kita hitung hingga tahun 2024 hari ini sudah memasuki tahun ke-22. Di sini lantas saya bertanya-tanya, sudah sejauh mana langkah kemajuan literasi kita? Upaya-upaya apa yang harus kita lakukan dalam mencapai suasana literasi yang ideal?
Sekali lagi saya tegaskan, peringatan Harbuknas dilatarbelakangi oleh rendahnya angka melek huruf dan penjualan buku Indonesia saat itu. Menurut data UNESCO tahun 2002, angka melek huruf orang Indonesia dewasa atau penduduk berusia 15 tahun ke atas hanya 87,9 persen.
Angka ini lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (88,7 persen), Vietnam (90,3 persen) dan Thailand (92,6 persen). Selain itu, Indonesia hanya mampu mencetak rata-rata 18.000 buku per tahun, jauh di bawah Jepang (40.000 judul) dan China (140.000 judul).
Sementara itu UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Padahal dalam riset terkait keaktifan bermedia, sosial. Masyarakat Indonesia termasuk cerewet. Mereka selalu membanjiri beranda-beranda facebook, X, dan lain-lain setiap harinya. Ini adalah sebuah paradoks di mana ada orang yang malas membaca namun suka komen sana-sini dalam berbagai isu, mulai perdapuran hingga isu-isu elit global.
Berdasarkan laman goodstats.id, Semiocast, perusahaan analis data yang berpusat di Paris, Perancis, mengeluarkan data jumlah user (pengguna) Twitter (sekarang ‘X’) dan jumlah posting per kota.
Mashable, yang merilis hasil studi Semiocast, hanya menyebutkan jumlah pengguna Twitter secara keseluruhan, tanpa jumlah per kota, tapi tersedia data jumlah posting per kota di dunia. Dari daftar tersebut terlihat bahwa Jakarta merupakan kota dengan jumlah posting terbanyak di dunia dan Bandung di nomor enam.
Jakarta, ibu kota Indonesia, adalah rumah bagi “tweeps” dan “twitterian” paling aktif di dunia menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Semiocast. Hal ini menjadikan Jakarta sebagai kota teratas untuk tweet di dunia, melampaui New York, Tokyo, London, dan São Paulo.
Tak hanya itu, Jakarta juga menduduki peringkat kedua kota top dunia di Facebook, diikuti Bangkok di peringkat pertama. Dengan demikian, bisa dikatakan masyarakat Jakarta sangat aktif di media sosial.
Warga Jakarta tercatat paling cerewet menuangkan segala bentuk unek-unek di Twitter lebih dari 10 juta tweet setiap hari. Di posisi kedua peringkat dunia kota teraktif di Twitter ialah Tokyo. Menyusul di bawah Negeri Sakura ada warna Twitter di London, Sao Paulo dan New York yang juga gemar membagi cerita.
Bahkan Kota Bandung juga masuk ke jajaran kota teraktif di Twitter di posisi enam mengalahkan Paris dan Los Angeles. Dengan demikian, Indonesia memiliki rekor dua kota yang masuk dalam daftar riset tersebut.
Inilah sebuah fakta yang menjadi tantangan bagi masyarakat kita. Era digital yang sangat buas dan liar ini belum bisa dikendalikan dan dijinakkan oleh Gen-Z dan bahkan para boomers ikut-ikutan terlahap dan menjadi korban media sosial digital. Bahkan boomers dan “generasi zaman kolonial” tampak lebih parah, absurd, dan memprihatinkan dalam bermedsos. Sebab mereka ini sebenarnya adalah manusia-manusia kuno yang dulu hidup di era radio dan layar tancap. Setelah hadirnya androit, mereka yang awalnya gagap teknologi kini menjadi gagap gempita. Sedikit-sedikit posting video-video pendek kualitas buruk. Mereka selalu ingin paling terdepan dalam berbagi video. Kalah sedetik dari rekan boomers lain, maka ia serasa sudah tidak memiliki harga diri lagi sebagai aktivis WA dan FB. Ini menggelikan.
Kembali ke masalah minat baca dan literasi. Hingga riset terakhir (bisa pembaca telusuri di internet secara mudah) Indonesia masih menduduki posisi terbawah di antara 80-an negara lain. Maka kondisi buruk ini harus segera diperbaiki dan harus lebih ditingkatkan ke depannya. Maka perlu upaya kolaboratif antara pemerintah, lembaga pendidikan dan masyarakat.
Sebenarnya masyarakat kita tahu dan sadar bahwa buku itu penuh dengan ilmu dan hal-hal yang bermanfaat. Namun jika ada pertanyaan, apakah mau membaca? Maka kebanyakan menjawab malas atau belum ada waktu. Ini adalah masalah serius yang butuh pemecahan. Semua elemen yang saya sebuatkan tadi perlu melakukan sebuah gerakan radikal. Mungkin sejak dini, anak-anak kita harus jauh dari hal-hal yang menjadikan mereka malas menbaca.
Di sini saya tidak akan membahas pentingnya dan manfaat membaca karena sudah pernah saya tulis di beberapa artikel saya. Hanya saja saya ingin menyampaikan bahwa peringatan Hari Buku Nasional yang sudah menghabiskan tiga presiden dan kini memasuki presiden yang keempat sudah seharusnya membuat bangsa ini nangkring di posisi atas dalam hal literasi. Posisi ini menentukan nasib bangsa Indonesia yang lebih bermartabat, berwibawa, dan sejahtera.
Alih-alih meningkatnya literasi, makin ke sini yang meningkat justru korupsi. Semakin rendahnya literasi, maka dampaknya korupsi semakin menggila. Mengapa? Karena bangsa ini akan mudah dikibuli. Oleh sebab itu, seharusnya kita sadar betul bahwa untuk menuju perbaikan butuh yang namanya literasi. Saya masih sangat optimis terhadap generasi hari ini. Maju mundurnya sebuah bangsa ada pada genggaman mereka. Hidup dan menyala literasi!