Share

Antara Tradisi dan Penyegaran Islam: Pilih mana?

  • Januari 9, 2024

Saya turut senang dengan para tokoh yang mewacanakan perlunya penyegaran dan pembaruan pemikiran dunia Islam dalam segala bidangnya. Pemikiran tersebut sangat penting diapresiasi, didukung dan dikembangkan karena sesuai dengan prinsip perubahan. Kejumudan dan anti perubahan merupakan musuh kemanusiaan, yang jika terus dibiarkan maka akan menghancurkan umat manusia dan begitu juga ajaran Islam itu sendiri cepat atau lambat. Hal ini tampak dari posisi umat Muslim hari ini. Kemerosotan dan kemunduran yang terjadi, salah satunya, merupakan imbas kejumudan tersebut.

Namun yang mengganjal dalam pikiran saya adalah ketika ada seorang tokoh pemikir yang dengan gagahnya mendekonstruksi pemikiran-pemikiran terdahulu (tradisi). Dengan pongahnya dia menganggap warisan-warisan lama sudah tidak relevan untuk dipertahankan. Mempertahankan warisan lama, berarti sebuah kemunduran. Benar apa yang mereka katakan, hanya saja mengapa dia tidak benar-benar tuntas dalam lontaran kritik tersebut. Jika memang perlu pembaruan, kenapa tidak pula dia sajikan alternatifnya. Sebagai contoh, “fikih klasik sudah saatnya untuk diperbarui, berikut metodologinya”. “Fikih sejak dulu hingga hari ini masih berputar-putar dalam tema yang itu-itu saja. Dari matan, syarh, hingga hasyiyah”. Meskipun sebenarnya anggapan ini tidak selamanya benar. Namun di saat itu, dia belum juga membuat sebuah metodologi dan formulasi yang benar-benar baru, ijtihad menyeluruh juga belum kunjung dia lakukan. Ini bagi saya adalah sebuah kekonyolan yang perlu diluruskan.

Pemikiran-pemikiran kritikus itu, yang bertebaran dalam buku-buku khusus atau kumpulan-kumpulan artikel, hanya masih sebatas kritikan-kritikan yang menyisakan pertanyaan bagi siapa saja yang membacanya. Pertanyaannya adalah sudahkah dia mengajukan jalan keluar untuk permasalahan yang dia anggap sudah tidak layak guna. Sejauh yang saya amati, belum ada metodologi alternatif yang komprehensif sebagai pengganti tradisi yang dia kritisi.

Wal hasil, jangan dulu menganggap masa lalu (tradisi) sebagai sesuatu yang usang, kalau kita belum bisa menghadirkan atau menciptakan yang betul-betul baru.