Isti’ādzah atau bacaan a’udzubillahi minasysyaithanirrajim tentu bacaan yang sangat populer di kalangan masyarakat muslim. Biasanya, bacaan tersebut dibaca ketika hendak membaca Al-Quran. Pertanyaannya adalah, Apa hukum membaca Al-Quran? Kenapa kok kaum muslimin ketika hendak membaca Al-Quran selalu membacanya terlebih dahulu? Dan masih ada beberapa pertanyaan yang lain. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini, sebagai lanjutan tulisan sebelumnya, saya akan kupas tadabbur isti’adzah tentang hukum membaca isti’ādzah.
Mayoritas ulama sepakat bahwa membaca isti’ādzah dalam salat hukumnya adalah sunnah. Oleh karena itu orang yang salat dan tidak membaca isti’ādzah, disengaja atau tidak, salatnya tetap sah.
Kesunahan ini juga berlaku bagi seseorang yang membaca isti’ādzah di luar salat. Jadi, tidak ada keharusan atau tidak berdosa bagi sesiapa yang tidak mengawali isti’ādzah ketika membaca Al-Quran.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa hukum membaca isti’adzah di dalam atau di luar salat hukumnya adalah wajib. Dalam tafsir al-Qurthubiy, an-Naqqasy rahimahullah menceritakan dari ‘Atha rahimahullah : “sesungguhnya isti’ādzah itu wajib dibaca di setiap memulai membaca al-Quran, baik di dalam atau di luar salat.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai tatacara membaca isti’ādzah di dalam salat. Ibn Sirin rahimahullah, an-Nakha’iy rahimahullah dan beberapa ahli yang lain berpendapat bahwa isti’ādzah dibaca di setiap rakaat salat, hal ini berdasarkan dalil perintah yang bersifat umum tersebut. Adapun Abu Hanifah rahimahullah dan asy-Syafi’iy rahimahullah , isti’ādzah hanya dibaca di rakaat pertama dalam salat. Beliau berdua berpendapat bahwa semua bacaan (maksudnya adalah surat-surat atau ayat-ayat yang dibaca) dalam salat itu seperti satu bacaan, sehingga cukup dibacakan isti’ādzah sekali saja di rakaat pertama.
Adapun Imam Malik rahimahullah menganggap bahwa isti’ādzah tidak perlu dibaca di dalam salat fardu. Akan tetapi membaca isti’ādzah hanya berlaku pada saat qiyām ramadan (tarawih dan witir) saja, itupun membacanya setelah membaca ayat atau surah.
Dalam tafsir al-Khāzin dijelaskan bahwa dalil wajibnya isti’ādzah adalah bentuk fi’il amr (kata kerja yang menunjukkan perintah) dari ayat fasta’idz billāh. Dalam kajian ushul fiqh, pada dasarnya bentuk perintah itu wajib dilaksanakan. Selain itu baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendawamkan bacaan isti’ādzah, sehingga hal ini menandakan adanya kewajiban.
Adapun argumen yang dibangun oleh mayoritas ulama dalam pendapat mereka tentang ketidakwajiban bacaan isti’ādzah adalah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan orang Arab pedalaman (desa, kampung) untuk membaca isti’ādzah dalam keseluruhan ritual salat. Sementara itu, menunda penjelasan di luar waktunya tidak diperbolehkan.
Kemudian mengenai ayat 98 surah an-Nahl tersebut, para ulama menjelaskan bahwa maknanya adalah jika hendak membaca al-Quran maka dianjurkan membaca ta’awwudz. Sebagaimana dalam ayat lain.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ … ٦
Makna idzā qumtum ilashshalāh adalah “ketika hendak mendirikan salat”, bukan “ketika telah mendirikan salat”. Jadi bacaan ta’awwudz dilakukan sebelum membaca al-Quran jika menggunakan pemahaman seperti itu, bukan dibaca setelah membaca al-Quran sebagaimana dipahami secara literal oleh sebagian ulama.
Selanjutnya terkait kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membaca isti’ādzah, mayoritas ulama berpendapat bahwa itu bukan merupakan kewajiban. Kebiasaan tersebut tidak serta merta menunjukkan tentang kewajiban, seperti bacaan takbir intiqāl dan tasbih dalam salat. Keduanya memang rutin beliau baca, tetapi bukan lantas kemudian menjadi suatu kewajiban, begitu juga dengan bacaan isti’ādzah ini.
dan yang terakhir adalah bahwasanya semua ulama sepakat bahwa isti’ādzah bukan termasuk bagian dari al-Quran.