Share

Tadabbur Isti’adzah (5): Makna dan Tata Bahasa Isti’adzah

  • Januari 17, 2024

Di pembahasan lanjutan tadabbur isti’adzah kali ini penulis akan memaparkan makna dan tata bahasa isti’adzah kepada teman-teman pembaca. Tujuannya supaya semakin memantapkan dan memberikan rasa yang lebih mendalam dalam membacanya, sehingga kita betul-betul mampu menggapai tujuan beristi’adzah. Sebab bacaan ini bukanlah bacaan yang sepele atau hanya sebatas pelengkap, tetapi sangat penting untuk sebuah awalan sebagaimana sudah saya sampaikan di tulisan sebelumnya.

Makna Isti’ādzah

Isti’ādzah secara bahasa berarti “al-iltijā` ila al-ghair” artinya berlindung kepada orang lain dan “al-i’tishām bih” artinya memohon perlindungannya. Adapun makna isti’ādzah menurut syariat adalah berlindung kepada Allah ta’ala dan menautkan diri di sisiNya dari segala bentuk keburukan. (tafsir al-Khazin & Ibn Katsir).

Menurut Ibn Katsir rahimahullah: makna “a’ūdzu billahi minaysyaithānirrajīm” adalah bahwa aku berlindung di sisi Allah ta’ala dari setan terkutuk, yakni kejahatannya yang dapat membahayakan agama dan duniaku, atau dari kejahatannya dalam menghalang-halangiku untuk melakukan perintah dan mempengaruhiku untuk melanggar larangan agama. Karena sesungguhnya tak ada seorangpun yang bisa mencegah gangguan setan atas manusia kecuali Allah ta’ala semata.

Makna a’ūdzu billahi adalah aku berlindung kepada Allah ta’ala, supaya terhindar dari segala sesuatu yang aku takuti, berupa keburukan setan. Maksudnya adalah dari mara bahaya atau hembusan setan, sebab setan adalah makhluk yang dijauhkan dari rahmat Allah (setan). Ar-rajīm artinya adalah orang yang Allah ta’ala tolak, laknat, dan jauh dari sisi Allah ta’ala, malaikat dan umat manusia.

Tidak adanya peyebutan sifat-sifat setan dalam isti’ādzah secara detail seperti hamz, nafts, dan nafkh, setelah kata Syaithān (mu­sta’ādz minhu) bertujuan agar dalam meminta perlindungan, seseorang tidak membatasi permohonannya. Jadi seseorang bisa memohon dari semua bentuk godaan setan secara umum tanpa dibatasi.

I’rab Isti’ādzah

A’ūdzu merupakan fiil mudlari’ yang beri’rab rafa’ dengan tanda i’rab dlammah dhahirah (dlammah yang tampak). Fail atau subjeknya berupa dlamir mustatir yang harus merujuk pada mutakallim (orang pertama) yaitu aku. Kata “aku” di sini berarti orang yang meminta perlindungan. Bacaan ta’awwudz termasuk jumlah fi’liyyah isti’naf (susunan kalimat dengan permulaan kata kerja) sehingga jumlah ini tidak memiliki kedudukan i’rab.

Billahi, lafad tersebut merupakan susunan jār majrūr, susunan ini bergantung (ta’alluq) pada lafad a’ūdzu, maksudnya dua-duanya saling bertautan atau bergantung, sebab jika tidak diketahui ta’alluqnya (hubungannya), maka pembaca tidak akan bisa memahami maknanya secara lengkap.

Min asy-syaithān, merupakan susunan jār majrūr, lafad ini juga berta’alluq dengan lafad a’ūdzu. Jadi kira-kira kalimatnya adalah a’ūdzu min asy-syaithān, “aku berlindung dari setan”. Persamaan ta’alluq ini boleh terjadi asalkan lafad dan maknanya berbeda. Maksud lafad berbeda adalah setelah kata a’ūdzu ada dua lafad yang berbeda yaitu billah dan min asy-syaithān. Sedangkan maksud makna berbeda adalah susunan yang pertama berarti “aku berlindung kepada Allah” sedangkan susunan yang kedua berarti “aku berlindung dari setan”.

Ar-rajīmi merupakan sifat buruk yang digunakan untuk mencela dan menghinakan setan. Lafad ini beri’rab jār dengan alamat kasrah dhahirah.

Mufradāt (kosakata) dan tashrif (morfologi)

Isti’ādzah adalah bentuk mashdar qiyāsi untuk fiilista’ādza” yang artinya iltijā’ dan i’tishām (berlindung) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Contoh: ista’ādza – yasta’īdzu – isti’ādzatan, idzā tahashshana bi syai’in min syai’in (artinya berlindung dengan sesuatu dari sesuatu yang lain).

Asal kata isti’ādzah adalah isti’wādz. Harakat wawu dipindah pada huruf sebelumnya (‘ain) yang menyandang sukun, kemudian wawu tersebut berganti alif karena pada dasarnya wawu ini menyandang harakat dan saat ini huruf sebeelumnya menyandang harakat fathah. Kemudian ada pertemuan antara dua sukun dalam susunan kata ini, yaitu alifnya ‘ain kalimah dan alifnya wazan istif’āl (tambahan) oleh sebab itu alif tambahan harus dibuang dengan alasan tersebut. Kemudian alif yang terbuang ini diganti dengan huruf ta’ maka jadilah isti’ādzah yang mengikuti wazan istif’ālah. Lafad ini tergolong dalam bina’ ajwaf wawi. Sebab lafad ini berasal dari ‘adza – ya’udzu – ‘audzan seperti qala – yaqulu – qaulan. Al-‘audzu dan al-‘iyadz dua-duanya sama-sama mashdar seperti kata ash-shaum dan ash-shiyam.

Ucapan “a’ūdzu” merupakan bentuk ikhbār (informasi) atas perbuatan atau sesuatu yang dilakukan. Jadi kira-kira maknanya adalah suatu bentuk memohon kepada Allah ta’ala untuk mendapatkan fadlalNya. Beralihnya bentuk insyā’ ke dalam bentuk ikhbār berfaidah tafā’ul bil wuqū’. Jadi seakan-akan penjagaan atau perlindungan ini sudah terlaksana, oleh karena itu musta’īdz menginfokan hasilnya.

Billahi”, menurut pendapat ahli hakekat lafad jalālah tidak memiliki akar kata, alasannya adalah tak ada satupun orang yang mengetahui substansi Allah ta’ala secara pasti. Oleh sebab itu Sa’duddīn at-Tiftāzāniy dalam hāsyiah al-Kasysyāf mengatakan: ketahuilah, sebagaimana adanya anggapan-anggapan rancu tentang Dzat dan Shifat Allah ta’ala, maka begitu juga dalam masalah lafad yang menunjukkan tentangNya, apakah itu nama atau sifat, musytāq (tebentuk dari akar kata tertentu) atau ghairu musytāq (tidak terbentuk dari akar kata), nama atau bukan dan lain sebagainya. Masalah ini akan dibahas secara rinci dalam tema basmalah. Min asy-syaithani, yaitu seorang yang dijauhkan dari Rahmat Allah ta’ala. Diriwayatkan dari Ibn Abbas radliyallahu ‘anhu:

Makna Syaithan

Ketika Iblis membangkang maka dia terlaknat saat itu juga dan sejak saat itu dia dijuluki sebagai setan. Riwayat ini menunjukkan bahwa sebutan setan atas iblis ini disebabkan setelah Allah melaknatnya akibat dari pembangkanagannya. Adapun nama iblis sebelum dilaknat adalah ‘Azāzīl atau Nā’il. Kata syaithān berasal dari kata syathana, artinya jauh dari rahmat. Dalam pendapat lain berasal dari kata syātha – yasyīthu, artinya hancur dan terbakar dalam kemarahan. Setan merupakan nama bagi setiap jin atau manusia yang membangkang.

Dalam tafsir al-Qurthubiy dijelaskan bahwa syayāthīn merupakan jamaknya syaithān, dalam kaedah bahasa Arab disebut sebagai jama’ taksir. Huruf nun dalam kata tersebut adalah huruf asli. Sebab kata tersebut berasal dari kata kerja syathana, artinya jauh dari kebaikan. Syathanat dāruhu, rumahnya jauh. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair an-Nabighah adz-Dzibyani.

فَبَانَتْ وَالْفُؤَادُ بِهَا رَهِيْنُنَأَتْ بِسُعَادَ عَنْكَ نَوًى شطُونُ

Bi’run syathun, artinya sumur yang dalam dasarnya.

Kata syathan juga bisa bermakna tali, karena adanya jarak yang terbentang antar kedua ujungnya. Oleh sebab itu, setan disebut setan karena dia jauh dari nilai-nilai kebenaran dan bersikap membangkang atau memberontak. Jadi, hewan, manusia, dan jin yang membangkang atau memberontak masuk dalam kategori setan.

Jarir berkata:

وَهُنَّ يَهْوِينَنِي إِذْ كُنتُ شَيْطَانَاأَيَّامَ يَدْعُونَنِي الشَّيْطَانُ فيِ غَزْلِ

Dalam satu pendapat disebutkan bahwa syaithān berasal dari syātha – yasyīthu. Jadi nun dalam kata ini merupakan huruf tambahan. Beberapa di antara maknanya adalah batal, terbakar, kemarahan yang meluap-luap, mengental dan mati. Al-A’sya berkata:

وَقَدْ يَشِيْطُ عَلَى أَرْمَاحِنَا الْبَطَلُقَدْ نَخْضِبُ الْعَيْرَ مِنْ مَكْنُونِ فَائِلِهِ

Yasyithu dalam bait ini artinya adalah binasa.

Namun pendapat yang menyebutkan kata syaithān berasal dari kata syātha tertolak berdasarkan riwayat Imam Sibawaih, bahwa sesungguhnya orang Arab mengatakan: tasyaithana fulān idzā fa’ala af’āla sy-syayāthīn (seseorang kesetanan). Kata tasyaithana berwazan tafai’ala, dari sini jelas kelihatan bahwa huruf nun merupakan lam kalimat. Jadi dengan melihat wazan ini, artinya huruf nun tersebut adalah asli bukan tambahan. Seandainya berasal dari kata syātha maka orang-orang pasti akan mengatakan tasyayyatha. Pendapat ini juga ditolak oleh bait Umayyah ibn Abi ash-Shalt:

وَرَمَاهُ فِيْ السِّجْنِ وَالأَغْلَالِأَيُّمَا شَاطِنٍ عَصَاهُ عَكَاهُ

Dalam bait tersebut bisa dipastikan bahwa kata syāthin berasal dari kata syathana. Secara eksplisit, yang dimaksud dengan setan adalah Iblis dan pendukung-pendukungnya. Namun ada satu pendapat yang mengatakan bahwa setan itu berlaku secara umum untuk siapa saja (jin atau manusia) yang membangkang dan menyesatkan. Hal ini sesuai dengan ayat “syayāthinil insi wal jinni”.

Makna Rajim

Arrajīm, artinya terlempar dari langit. Para Malaikat melemparkan setan dari langit sebab pembangkangannya. Mereka melempari setan dengan bebatuan antariksa. Rajīm adalah sifat untuk setan, setan memiliki beberapa sifat buruk sebagaimana al-Quran tuturkan. Dan rajīm merupakan sifat setan yang paling kompleks atau sifat induk dari berbagai macam sifat setan. Sebab semua keburukan-keburukan setan ada dalam satu sifat ini. Inilah alasan kenapa sifat yang muncul dalam isti’ādzah adalah rajīm. https://cakobed.com/tadabbur-istiadzah-4-istiadzah-dibaca-sebelum-atau-setelah-baca-al-quran/

Dalam tafsir al-Qurthubiy, ar-rajīm artinya adalah yang dijauhkan dari kebaikan atau yang dihinakan. Pada dasarnya rajm berarti melempar dengan batu (wa qod rojamtuhu urjimuhu, fahuwa rajīm marjūm). Ar-rajmu juga bermakna al-qatlu (membunuh), al-la’nu (laknat), ath-thardu (mengusir), dan asy-syatmu (mencaci atau mencela). Menurut satu pendapat, semua makna tersebut berdasarkan ayat:

قَالُواْ لَئِن لَّمۡ تَنتَهِ يَٰنُوحُ لَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمَرۡجُومِينَ  ١١٦

Mereka berkata: “Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan termasuk orang-orang yang dirajam”. (QS. asy-Syu’ara: 116)

Dan ayat:

قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنۡ ءَالِهَتِي يَٰٓإِبۡرَٰهِيمُۖ لَئِن لَّمۡ تَنتَهِ لَأَرۡجُمَنَّكَۖ وَٱهۡجُرۡنِي مَلِيّٗا  ٤٦

Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. (QS. Maryam: 46)

Berdasarkan pendapat Imam al-Qurthubiy ini, kata rajīm mengandung makna sifat celaan untuk setan, atau mungkin juga memang pada dasarnya sifat ini sudah melekat pada setan.

Dari beberapa makna di atas, kata rajīm mengikuti wazan fa’īl, adakalanya bermakna fā’il (subjek), yakni yang melemparkan bisikan-bisikan jahat dan adakalanya bermakna maf’ūl (objek), yakni yang dilempari dengan batu ketika mencoba mencuri informasi langit, lengser dari kedudukannya, jauh dari rahmat Allah ta’ala dan segala macam kebaikan-kebaikan.