sumbe gambar: https://cdn.pixabay.com/photo/2022/04/10/04/51/ramadan-7122654_1280.png
Keistimewaan puasa Ramadan
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Semua amal anak Adam (umat manusia) akan kembali kepadanya, 1 kebaikan setara dengan 10 hingga 700 lipat kebaikan. Allah ta’ala berfirman: Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa untukKu, dan akulah yang akan membalasnya. Karena sesungguhnya ia telah meninggalkan syahwat, makanan, dan minumannya karenaKu. Ada dua kebahagiaan bagi orang yang berpuasa: Bahagia di kala berbuka dan bahagia di kala bertemu Rabbnya. Sungguh aroma tak sedap mulut seorang yang berpuasa jauh lebih wangi daripada aroma kesturi. (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam suatu riwayat lain adalah sebagai berikut: Semua amal anak Adam baginya kecuali puasa, karena puasa untukKu.
Dan dalam riwayat lain lagi dari jalur Imam Bukhari juga menerangkan yang artinya: Setiap amal ada peleburnya, dan puasa itu untukKu, dan Akulah yang akan membalasnya. Kemudian Imam Ahmad juga mengeluarkan hadis semacam ini: Setiap amal anak Adam ada peleburnya, kecuali puasa. Sebab puasa itu untukKu dan Aku yang akan membalasnya. Hadis-hadis di atas menegaskan bahwa puasa Ramadan memiliki kedudukan spesial di hadapan Allah ta’ala. Kedudukan yang sangat tinggi dan luar biasa besar pahalanya.
Puasa yang sangat luar biasa ini merupakan bagian dari kesabaran. Rasulullah juga menegaskan hal ini dalam sebuah hadis yang pada intinya beliau menyebut bulan Ramadan sebagai bulan kesabaran. Dalam hadis lain Nabi terangkan bahwa puasa merupakan separuh kesabaran. Allah ta’ala berfirman dalam QS. Az-Zumar ayat 10:
إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٖ
10….. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
Ada tiga macam kesabaran:
- Sabar dalam ketaatan kepada Allah ta’ala
- Sabar dari yang haram atau larangan Allah ta’ala
- Sabar atas takdir Allah ta’ala yang menyakitkan
Ternyata semua kesabaran di atas terpadu di bulan Ramadan atau bulan Puasa. Di bulan ini, seseorang harus memaksakan diri untuk sabar menjalankan ketaatan-ketaatan, sabar atas larangan-laranganNya seperti mengumbar hawa nafsu dan lain sebagainya, dan terakhir sabar atas ketidaknyamanan rasa perih semisal haus, lapar, letih, lesu, dan lain sebagainya.
Keperihan dan kepedihan di bulan Ramadan akan Allah ta’ala gantikan dengan pahala. Sebagaimana firman Allah tentang para pejuang dalam QS. At-Taubah ayat 120 berikut ini:
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ لَا يُصِيبُهُمۡ ظَمَأٞ وَلَا نَصَبٞ وَلَا مَخۡمَصَةٞ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَطَُٔونَ مَوۡطِئٗا يَغِيظُ ٱلۡكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنۡ عَدُوّٖ نَّيۡلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِۦ عَمَلٞ صَٰلِحٌۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
120. …. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.
Faktor penyebab berlipatgandanya suatu amal ibadah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan amal-amal yang kita lakukan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, faktor mulianya tempat di mana sebuah amal dikerjakan. Misal amalan ibadah yang dikerjakan di tanah Haram. Sebagaimana jamak kita ketahui, seseorang yang mendirikan salat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi akan mendapatkan lipatan pahala yang sangat banyak di banding salat di masjid-masjid lain. Dalam sebuah hadis sahih riwayat Imam Bukhari, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau berrsabda: Satu salat di masjiku ini lebih baik dari seribu salat di masjid-masjid lain kecuali Masjidil Haram.
Kedua, faktor mulianya waktu. Seperti bulan suci ramadan dan 10 hari di bulan Dzulhijjah. Imam Tirmizi meriwayatkan sebuah hadis dari Anas: Pernah Nabi ditanya tentang sedekah yang seperti apa yang lebih utama? Beliau menjawab: Adalah sedekah di bulan Ramadan. Itulah faktor-faktor penentu di mana sebuah amal perbuatan akan berlipatganda pahalanya.
Dan masih ada faktor lain yang menentukan sebuah amal ibadah Allah lipatgandakan pula pahalanya. Yakni faktor kedudukan pelaku di sisi Allah ta’ala. Seorang hamba, dalam kondisi ini, akan mendapatkan pahala yang jauh berlipat ganda di atas orang lain karena kedekatannya dengan Allah azza wa jalla dan ketakwaannya. Sebagaimana Allah lipatgandakan pahala umat ini atas umat-umat sebelumnya. Di mana Allah memberikan kepada umat ini dua kifl (bagian) pahala.
Dari keterangan-keterangan di atas dapat kita pahami bahwa ada sebuah kaedah besar yang menyatakan bahwa semua amal itu akan Allah lipatgandakan mulai dari bilangan 10 hingga 700 kecuali puasa. Mengapa puasa dikecualikan? Jawabannya adalah karena kedudukan puasa Ramadan jauh di atas amalan-amalan lainnya. Tidak ada batasan tertentu, mesin kalkulator atau komputer manapun tidak akan mampu menemukan lipatan jumlah pahala puasa Ramadan.
Puasa merupakan hak prerogatif Allah ta’ala
Adapun firman Allah dalam hadis qudsi di pembahasan awal yang berupa, “fainnahu li (puasa untukKu/hakKu)”, ini bermakna bahwa Allah menjadikan puasa sebagai ibadah spesial karena puasa dengan ZatNya, tidak dengan amal-amal lain. Banyak pendapat yang menjelaskan makna kalimat ini dari kalangan ahli ilmu. Di antaranya, yang menurut Imam Ibnu Rajab patut untuk kita ketahui adalah sebagai berikut:
Pendapat pertama
Puasa adalah sebuah usaha untuk meninggalkan hawa nafsu dan keinginan-keinginan primer yang menjadi watak bawaan seseorang karena Allah semata-mata. Inilah yang tidak ada dalam ibadah-ibadah lain selain puasa. Kita ambil satu contoh yakni ibadah ihram (haji dan umrah), memang dalam ihram seseorang akan meninggalkan wewangian dan larangan-larangan lainnya, namun untuk makan dan minum tidak ada larangan, ia masih bisa makan dan minum. Begitu juga dengan i’tikaf meskipun memiliki hubungan yang erat sekali dengan puasa.
Beda puasa dan salat
Salat
Lantas bagaimana dengan salat? betul bahwa dalam salat semua syahwat ditinggalkan, hanya saja, masanya tidak selama atau sepanjang seperti dalam puasa. Orang yang salat juga sebetulnya tidaklah benar-benar kehilangan kesempatan makan dan minum. Bahkan, seseorang tidak boleh salat dalam kondisi lapar, oleh sebab itu Rasul memerintahkan para sahabatnya untuk makan dulu sebelum salat. Sebab salat dalam keadaan lapar hukumnya makruh. Inilah mengapa dalam salat sunnah ada pendapat yang membolehkan minum, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat mulia Ibn az-Zubair dalam riwayat Imam Ahmad.
Puasa
Salat tidak sama dengan puasa. Saat berpuasa seseorang betul-betul menghabiskan waktu siangnya dalam keadaan meninggalkan keinginan-keinginan (makan, minum). Ia mendapati dirinya tidak bisa apa-apa, artinya ia terpaksa harus menahan diri untuk tidak makan, minum, berkumpul dengan pasangannya dan lain sebagainya. Lebih-lebih saat teriknya siang, maka keperihannya akan semakin menjadi-jadi. Nah, dalam kondisi inilah seseorang yang berpuasa berada pada derajat kemurnian dan keistimewaan ibadah dalam hal meninggalkan keinginan-keinginan. Maka ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa puasa di musim panas adalah bentuk keimanan.
Ketika hawa nafsu seseroang sedang memuncak, dan ia mampu memenuhinya, namun kemudian ia tinggalkan keinginan tersebut pada sebuah kondisi dan tempat yang tidak bisa dilihat oleh orang lain selain Allah. Maka hal tersebut menjadi bukti atas keimanan sejati. Inilah yan oleh orang yang berpuasa kerjakan.
Orang yang berpuasa sadar bahwa ia memiliki Rabb yang Maha Melihat. Sehingga dalam kondisi sendiri sekalipun ia tidak berani melanggar larangan-laranganNya. Ia takut akan siksa Allah dan mengharapkan pahalaNya. Inilah alasan mengapa Allah sangat mengapresiasi ibadah puasa dan menjadikan puasa sebagai hakNya. Maka dari itu, Allah berkata: Sesungguhnya seorang yang berpuasa meninggalkan keinginan, makan dan minum karenaKu.
Sebagian ulama Salaf berkata: Sungguh beruntung orang yang rela meninggalkan syahwat yang berada tepat di depan matanya demi suatu janji ghaib yang belum ia saksikan. Untuk sampai pada posisi ini tidaklah mudah, seseorang butuh keyakinan kuat dan latihan yang lama.
Di saat seorang yang berpuasa mengetahui bahwa rida Allah terletak pada meninggalkan keinginan-keinginan. Maka ia akan mendahulukan ridaNya daripada syahwat hawa nafsunya. Dalam kondisi ini, kenikmatan seseorang dalam menjauhi dan meninggalkan hawa nafsu jauh lebih besar daripada menurutinya. Bahkan pada sebagian orang khusus, menuruti hawa nafsu adalah sesuatu yang hambar, pahit, dan menjijikkan.
Pendapat kedua
Kedua, puasa adalah rahasia antara Allah dan hambaNya. Tidak ada seorang pun yang bisa melihat rahasia tersebut selain Allah. Mengapa demikian? Sebab puasa terdiri dari niat yang tidak ada satupun orang bisa melihatnya kecuali Allah ta’ala. Dan puasa juga terdiri dari meninggalkan keinginan-keinginan. Kita tahu pada umumnya keinginan itu tidak tampak, sebab letaknya ada pada jiwa. Oleh sebab itu, ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa malaikat Hafadzah tidak mencatat amal ibadah puasa. Dan menurut pendapat lain menyatakan bahwa dalam berpuasa tidak ada unsur riya`.
Sumber bacaan:
Lathoiful Ma’arif, Imam Ibn Rajab al-Hanbaliy
Wadhaif Syahri Ramadlan, Muhammad Sulaiman al-Muhana